Karya: Rafiah
Membayangkan indahnya alam membuat air liurku menetes. Sudah lama aku tak menjamah keindahan alam karena tenggelam di dalam kesibukan kuliah dan bekerja selama ini. Hingga benar-benar nafsu itu tak tertahankan! Aku ingin piknik. Aku memutar otak untuk mencari salah satu temanku yang cukup gila untukku ajak travelling berdua, karena memang aku adalah seorang yang cukup gila ketika melakukan suatu perjalanan. Kemudian, sepakatlah aku bersama temanku yang bernama Eli untuk melakukan sebuah perjalanan. Hanya berdua. Dan tepatlah tujuan kami saat itu, Pantai Siung.
Mengapa aku selalu
mengatakan bahwa aku seorang Traveler
yang gila? Karena setiap kali aku melakukan perjalanan piknik, tak sekalipun aku
paham mengenai jalan menuju lokasi yang aku tuju tersebut. Pernah sekali aku
pergi bersama teman yang menurutku kurang gila. Alhasil, aku dimarahi karena
aku tak tahu arah dan jalan menuju objek yang menjadi tujuan. Aku merasa aneh
saja sebab dengan cara seperti itu, tetap saja aku mampu berada pada lokasi
yang aku inginkan. Dan kembali hal ini terulang, aku tak tahu jalan menuju
lokasi tersebut dan hanya modal nekat yang kami miliki.
Pada larut malam aku
melakukan persiapan dengan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Aku membawa perlengkapan
yang sederhana seperti baju ganti, dompet (berisi uang tentunya), gadget untuk
mengambil foto (yang ini wajib ada), serta jas hujan untuk berlindung ketika
hujan karena ini masih musim penghujan yang entah tak ada tanda-tanda untuk
segera berhenti. Pada saat itu pukul 01.00 pagi aku baru beranjak tidur. Kemudian
bangun pada pagi hari. Selain kebiasaan tak mengetahui arah dan jalan menuju
lokasi, ada salah satu keburukanku yaitu sering molor dari waktu yang
ditentukan. Rencananya berangkat pukul 07.00WIB. Namun, karena berbagai alasan
yang entah apa saja akhirnya kami berangkat pada pukul 08.00WIB.
Semua sudah siap lalu
kami berangkat dengan menggunakan Vario hitamku yang kuberi nama Papang.
“Sudah siapkah kau
El?,” tanyaku pada Eli.
“Sudah dong!,” gumam
Eli.
Akhirnya kami pun
berangkat menuju arah Kota Sukoharjo. Rencana di tanganku adalah kami akan
melewati dan menyusuri jalan Tawangsari untuk nanti menembus langsung di area
Gunung Kidul. Oh ya, Pantai Siung yang menjadi tujuan kami ini berlokasi di
Gunung Kidul. Dan cukup itu saja informasi yang aku miliki selebihnya aku
mengandalkan GPS yang tersedia di dalam gadget juga secara nyata yaitu Gunakan
Penduduk Sekitar. Namun sial menghampiri kami. Kenapa? Kami lupa jalan menuju Tawangsari
itu. Sebenarnya sudah bertanya namun malah nyasar. Akhirnya kami memilih menuju
jalan lain yaitu melewati Wonogiri.
“Aku sedikit khawatir
El, apakah ini jalan yang benar?,” aku bertanya kepada Eli bermaksud
meyakinkan.
“Iya to, aku sudah
pernah lewat jalan sini kok,” Eli berusaha menenangkan aku.
“Tapi beneran nanti
tetap sampai tujuan ya?.”
“Tenang saja to, kalau
keliru ya tinggal putar balik,” ungkap Eli.
Ya sudah perjalanan pun
kami lanjutkan. Dengan berbekal GPS pada smartphone
dan rambu-rambu penunjuk jalan yang kami beri nama “Ijo-Ijo” kami terus
melanjutkan perjalanan menembus setiap jalan yang kami lihat. Sesekali aku
menengok pada keramaian ketika berada di kota dan menikmati keindahan alam ketika berada di
desa. Namun, aku merasa sedikit aneh karena ketika menengok kepada GPS ternyata
waktu tempuh berubah menjadi lebih panjang. 2 jam lagi men! Wah.
“El, kok waktu
tempuhnya berubah menjadi lebih panjang ya?,” aku berkata kepada Eli.
“What! Beneran to?,”
Eli pun terkaget.
“Yah, gimana lagi kita
sudah terlanjur jauh, tapi tak apalah kita sudah terlanjur jauh yang penting
jalan ini masih mengantarkan kepada tujuan ya,” aku masih berusaha tenang.
Saat ini waktu telah
menunjukkan sekitar pukul 11.00WIB dan entah mengapa aku merasa bahwa langkah
yang akan kami tempuh masih sangat jauh. Apalagi ini masih berada di daratan
Wonogiri dan entah kapan akan kami temui Gunung Kidul yang kami rindukan. Kami
hanya tetap melakukan perjalanan dan berharap si ijo-ijo segera memberi
petunjuk ke arah Gunung Kidul. Diantara rasa cemas dan takut akan semakin
siangnya hari, kami mendapat sedikit titik terang. Di jalan Wonogiri, akhirnya
kami menemui rambu penunjuk jalan menuju Jogjakarta. Kami yakin pasti yang
dimaksud adalah Gunung Kidul. Tanpa ragu kami langsung membelokkan diri ke
belokan itu. Namun, lagi-lagi ada kejutan yang harus kami terima. Jalan yang
kami lewati begitu menantang, seakan kami sedang berjoget dangdut ria.
“Wah jalanan mantap
ya!,” Eli menggumam dari depan sebab dia yang mengendalikan motor.
“Iya nih, hahaha...”,
aku hanya menyahut dengan tertawa.
“Tapi tenang aja el
bentar lagi kita pasti sampai kok dan setelah itu kita bertemu pantai yaaa!”,
aku kembali tertawa.
“Pantai, pantai,
pantai”, Eli berteriak sembari tetap mengendalikan motor.
“Yuhu
pantai,” aku tak mau kalah. Dan kami di jalan berteriak selayaknya orang gila.
Terkadang ada
pengendara lain yang menoleh dan kami tidak peduli. Aku menengok GPS, masih
lama waktu tempuh untuk menuju Pantai Siung. Dan karena waktu telah menunjuk
pada pukul 12.00WIB dan Eli belum sempat sarapan maka kami memutuskan untuk
menyantap makan siang dulu. Karena kami adalah mahasiswa yang ekonomis ya
jadinya hanya bakso dan mie ayam yang kami pilih sebagai menu makan siang kala
itu. Dan perjalanan kembali berlanjut.
Sepanjang perjalanan
aku masih saja memandang GPS. Masih kira-kira 50 menit lagi kami akan sampai
pada lokasi. Sebenarnya kalau kami melewati rute Sukoharjo, perjalanan ke
Gunung Kidul bisa mencapai maksimal 3 jam saja. Karena kami melewati rute
Wonogiri, akhirnya kami harus menelan kenyataan bahwa waktu tempuh semakin
panjang karena kami mengambil jalan memutar. Tapi tak apalah, simpan sebagai
pengalaman. Kami selalu bergumam seperti itu meski sebenarnya apabila dirasakan
sedikit pahit juga.
“El belok kanan,” aku menunjuk
pada sebuah jalan sesuai petunjuk GPS.
“Eh tapi kok aneh ini
jalannya semakin kecil dan banyak bebatuan seperti ini?,” Eli berbalik tanya
kepadaku.
“Sudah El, coba ikuti
jalan setapak ini sebentar lagi siapa tahu memang jalan ini benar-benar menuju
pantai,” aku menambahi.
Tapi di tengah
perjalanan aku terkejut. Jalanan semakin mengerikan dan gelap. Wah lagi-lagi
kami menjadi korban dari GPS. Karena kami putus asa dengan arahan GPS, akhirnya
kami gunakan GPS kedua yaitu Gunakan Penduduk Sekitar. Kami mencoba bertanya
kepada seorang ibu yang kebetulan berada di luar rumah, dan ternyata benar,
kami salah jalan. Akhirnya kami berputar arah dan kembali ke jalan yang
sebelumnya. Dan sejak itu, aku sudah tak percaya kepada GPS.
“Yuk tanya penduduk
lagi,” Eli kembali bersuara.
“Eh iya itu ada
mbak-mbak di luar, berhenti El,” jawabku kepada Eli sembari bersiap untuk
turun.
“Mbak, jalan menuju ke
Pantai Siung itu dimana ya?,” aku bertanya kepada penduduk sekitar.
“Oh, mbaknya salah
arah, seharusnya ke arah sana mbak bukan ke arah sini, coba putar arah dan
ketika ada bunderan nanti mbak ambil jalur kanan,” mbak-mbak tadi menjawab
sambil menunjukkan jarinya ke arah yang benar.
“Oh gitu mbak, oh ya
terima kasih ya mbak,” aku mengakhiri percakapan.
Setelah usai
mendapatkan petunjuk mengenai jalan yang benar, kami pun melanjutkan
perjalanan. Sementara itu, saat itu memang sedang gerimis. Untung saja tak lama
kemudian hujan pun berhenti sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan dengan
nyaman. Meski kami telah berada di jalur yang benar namun kami tetap harus
memastikan agar kami benar-benar tak tersesat lagi. Sebab hari semakin siang
namun kami belum sampai pada tujuan pula. Kami hanya khawatir nanti kami tak
sampai dan rasa rindu kami terhadap pantai tidak terpenuhi. Dan setelah
bertanya berkali-kali, kami benar-benar menemukan hawa pantai. Terlihatlah
hamparan biru yang entah itu langit entah itu laut dan ternyata hamparan biru
itu adalah kombinasi antara langit dan laut yang sungguh memberikan kesejukan
pada mata yang telah begitu jenuh oleh rutinitas yang luar biasa.
“Lihat El, itu laut
kan?,” aku berteriak dengan girang.
“Iyalah laut, kamu kira
sungai,” Eli malah mengejek. “Kumat lagi noraknya deh kalau ketemu ama pantai,”
Eli makin mengejek.
“Ah biarin yang penting
seneng, Hahaha,” aku menimpali.
Akhirnya kami bertemu
dengan bapak-bapak penarik retribusi, setelah membayar retribusi sebesar Rp
5.000,- saja, kami sudah bisa menikmati 3 pantai sekaligus yang berurutan yaitu
pantai Jogan, pantai Nglambor, dan pantai Siung. Wah kami semakin semangat
menuju ke pantai lalu kami memutuskan untuk memilih pantai terjauh terlebih
dahulu yaitu pantai Siung sambil nanti menyusul ke pantai yang lain sembari
perjalanan pulang. Sebagai informasi saja, ketiga pantai ini menyuguhkan ciri
khas masing-masing yang membuat satu sama lain memiliki keistimewaan yang
berbeda. Pantai Siung khas dengan tebing dan karangnya yang menjulang seperti
siung. Pantai Nglambor sangat tepat digunakan untuk snorkeling bagi wisatawan
yang doyan memandang keindahan bawah air. Sedangkan pantai Jogan memiliki air
terjun yang menyuguhkan pemandangan yang luar biasa indah.
“Yuk kita ke Pantai
Siung duluan,” gumam Eli sambil terus memacu Papangku menuju arah pantai Siung.
“Eh iya, ini sudah jam
satu ya, kita disini sampai jam berapa El?,” aku bertanya kepada Eli.
“Ehm, jam lima saja ya,
nanti keburu malam belum lagi kalau hujan,” jawab Eli.
“Oke deh, semoga cukup
puas ya,” gumamku sambil berdoa supaya pantai yang kami pilih ini tidak
mengecewakan.
“Wow, akhirnya sampai
juga di Pantai Siung”, Eli berteriak girang.
“Keren men,” aku
berdecak kagum hingga mataku terbelalak.
Pantai Siung
benar-benar indah. Aku sepintas melihat sekeliling sembari menginjak pasir
putih bersih yang menjadi ciri khas bagi setiap pantai di Gunung Kidul. Aku tak
berminat untuk bermain di pasir namun pandanganku selalu menuju pada tebing
tinggi yang menjulang di sebelah kiri. Aku dan Eli sepakat memilih untuk
mendaki menuju tebing untuk mencari spot terbaik untuk mengambil foto.
“Yap, ayo kita naik
El,” aku berteriak sambil bersemangat.
“Oke come on!,” Eli
menyahut.
Aku terlalu bersemangat
dalam mendaki hingga kulihat Eli sedikit tertinggal. Saat itu pukul setengah
dua, matahari sedang begitu teriknya. Entah mungkin saat ini tingkat kegosongan
kami telah meningkat sebesar berpuluh-puluh persen tapi aku hanya tidak peduli.
Keindahan alam mengalahkan sisi feminim.
“Akhirnya sampai juga,
wah indah banget ya lautnya,” aku memulai pembicaraan.
“Airnya biru men, indah
banget. Terlihat hamparannya begitu luas ya,” Eli pun juga mengungkapkan
kekagumannya.
Kami pun berpose ria
dengan berlatar belakang pantai dan lautan yang indah. Setelah turun dari
tebing, kami naik menuju karang yang begitu dekat dengan ombak lalu kami
berfoto tepat di depan ombak. Kami merasa begitu dekat dengan ombak dan sungguh
hal itu sangat menyenangkan. Begitu dekat dengan alam itu memberi rasa yang
luar biasa indah. Setelah puas berfoto ria dan menunggui Eli mengambil beberapa
hewan laut untuk dibawa pulang, akhirnya kami melanjutkan untuk menuju pantai
kedua, Pantai Nglambor.
“Yuk ke pantai kedua,
aduh namanya apa ya El?,” aku memulai obrolan.
“Entahlah, aku nggak
tahu, langsung datengi aja kali,” Eli menjawab.
“Oh ya, hehe ayo lah
cepetan aku sudah tak sabar El”.
Akhirnya kami kembali
melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nglambor. Perjalanan ke Pantai Nglambor
tak semulus pada Pantai Siung. Jalanan masih berbatu besar dan lancip. Sungguh
jalanan kali ini sangat menantang juga kondisi jalan yang naik turun semakin
membuat ketar-ketir. Aku memutuskan untuk turun agar beban yang dirasakan berkurang.
Pada saat kondisi sudah aman, akhirnya aku naik kembali. Selang beberapa saat,
akhirnya kami sampai juga pada tujuan kedua, Pantai Nglambor.
Suasana pantai cukup
ramai. Namun lagi-lagi jalanan disini cukup ekstrim, apabila kami tidak
hati-hati kami bisa terpeleset karena cukup banyak batu-batu kecil disini.
Setelah melewati jalan setapak, akhirnya kami berhasil turun menuju pantai.
Terdapat hamparan karang rapuh pada bagian depan. Kami terpaksa harus menginjak
karang-karang rapuh itu sebab memang itu satu-satunya jalan yang membawa menuju
ombak. Juga kami menemui banyak bulu babi yang berbahaya apabila terinjak.
Banyaknya bulu babi ini sebagai pertanda bahwa karang disini telah banyak
rusak.
Di luar itu, pantai ini
tetap indah. Apalagi pantai ini cukup luas dan terdapat lokasi yang aman
sebagai lahan snorkeling. Oleh karena itu, pantai yang terbilang masih baru ini
memiliki salah satu ciri khas yang tak dimiliki oleh pantai yang lain. Tanpa
ragu, aku memasukkan kaki ku menuju genangan air laut. Cukup nikmat kurasakan
sebab ciptaan Allah ini tak ada yang tak istimewa. Sembari mengambil beberapa
foto, aku bersama Eli tenggelam dengan lamunan masing-masing. Sungguh alam
Indonesia sangat indah, namun memang kita harus menjaganya dengan baik agar tak
terjadi kerusakan selayaknya pada karang-karang ini.
“Jam berapa El?,” aku
memecah keheningan.
“Jam setengah 5 ini,
kamu belum sholat kan?,” Eli mengingatkanku.
“Eh iya El, duh gimana
ya kita lanjut ke Pantai Jogan apa tidak nih?,” aku meminta persetujuan Eli.
“Ah tidak usah saja
dulu ya, yang penting kamu sholat duluan, besok-besok kan kita bisa kesini
lagi,” Eli memberi solusi.
“Oh oke kalau begitu,”
aku pun setuju.
Akhirnya perjalanan
kami harus berakhir disini. Meski hanya dua objek wisata yang kami kunjungi
tapi kami merasa sangat puas. Kerinduanku dan kerinduan Eli pada pantai telah
terobati. Sungguh ini perjalanan yang cukup menguras tenaga namun gregetnya
sangat terasa. Yang aku pelajari dari sebuah perjalanan adalah dimanapun jalan
yang akan kami ambil pada akhirnya akan ada titik terang yang akan mengantar
kami pada tujuan yang kami tetapkan. Selain itu, jangan terlalu khawatir dalam
melakukan setiap tindakan, Allah selalu memberi solusi maka tetap tenang dan
lakukan yang terbaik. Oh ya, dalam perjalanan kali ini, kami hanya menghabiskan
tak lebih dari seratus ribu. Karena kami membayar secara kolektif, maka per
orang mengeluarkan uang tak lebih dari lima puluh ribu. Wah sungguh perjalanan
yang menyenangkan sekaligus ekonomis. Aku sungguh ahli dalam hal ini. Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar