
Malam ini aku bersama Kelik janjian
bertemu di Kafe Ngopi ABC dekat kampus UNS Solo untuk menikmati sajian Kopi
Tubruk khas Aceh yang rasanya terkenal pedas dan pahit. Namun, Kopi ini sungguh
nikmat untuk menemani obrolan ringan sepanjang malam. Aku datang di Kafe Ngopi
ABC tepat pukul 20.30 WIB. Saat sampai di parkiran, aroma khas kopi nusantara
menyembul dari dalam kafe ini. Sebuah musik cadas yang dibawakan oleh Iwan Fals
menyambut kedatanganku. Memang, Kafe ini selalu dikunjungi oleh maniak kopi
sejak zaman dulu karena sudah dikenal dengan berbagai macam jenis kopi yang
berasal dari seluruh pelosok Nusantara.
Lima menit berselang, Kelik datang.
Ia datang dengan menggenakan helm mini serta mengendarai sepeda motor lawas
buatan tahun 70an. Ia langsung menghampiriku yang sedang duduk dipojokkan Kafe
dengan ditemani sebatang lilin aroma terapi yang membuat suasana semakin
nyaman. Dua cangkir Kopi khas Aceh pesanakan kami datang dengan diantar oleh
seorang pelayan. Pelan-pelan pelayan wanita itu menuangkan kopi ke cangkir lalu
membawanya dengan nampan berisikan dua buah cangkir kopi pesanan kami.
Kuperhatikan ia sangat berhati-hati saat menaruh cangkir-cangkir kopi kami. Sebuah
kata terima kasih kupersembahkan kepada pelayan wanita ini sebelum ia
meninggalkan seutas senyum lalu pergi dengan wajah merah merona. Kami berdua
memulai obrolan dengan bercerita tentang kisah masa lalu kami ketika tinggal di
pondok pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo. Aku mencoba meraba-raba
ingatanku tentang masa lalu. Ku ingat terakhir kami bertemu saat merayakan
kelulusan. Itupun sudah 20 tahun yang lalu. Kelik lalu menceritakan kisah
cintanya dengan seorang gadis berjilbab keturunan Jawa yang akhirnya berlabuh
dipelaminan. Ia mengawali rumah tangganya dengan modal nekat alias tak punya
pekerjaan. Bersusah-susah Kelik mencari pekerjaan. Tak satupun perusahaan yang
mau menerimanya sebagai karyawan. Karena keterbatasan uang, Kelik yang merupakan
anak dari buruh tani yang tidak memiliki sawah maupun ladang hanya mampu
menempuh sekolah sampai jenjang SMA. Berkat kesabaran dan ketabahan hati sang
istri, akhirnya mereka berdua merintis usaha pabrik roti kecil-kecilan. Selang
lima tahun sejak merintis pabrik roti, mereka kini telah memiliki empat
karyawan, rumah sendiri, mobil sendiri serta bisa menyekolahkan keempat
putranya di pondok tahfidz Al Qur’an. Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar
kisah cinta sahabatku ini. Karena sampai umurku yang menginjak usia 30 tahun
ini tak seorang wanita pun yang mau menerima pinanganku. Dua jam kita mengobrol
tentang masa lalu yang indah dan menikmati secangkir kopi khas Aceh. Kelik
mohon undur diri karena istrinya sedang sendirian di rumah. Mataku tak sanggup berkedip
walau sesaat.
Baru lima menit yang lalu kita
bernostalgia tentang masa lalu kita di pondok pesantren. Kini aku harus berlari
menolongmu. Tak sanggup aku berkata. Air mataku menetes deras. Melihatmu yang
berlumuran darah. “Sahabatku, bertahanlah. Aku sedang mencari ambulance untuk
mengantarkanmu ke rumah sakit,” kataku dengan suara parau seraya membopong
Kelik ke pinggir jalan. Ambulance datang. Aku beserta perawat membopong tubuh
Kelik yang berlumuran darah ke dalam ambulance. Mobil ambulance melaju kencang
menuju rumah sakit. Suara sirine menggema sepanjang jalan. Terbata-bata Kelik
mengajakku bicara. “Bid.... Bila aku mati. Tolong jaga istri dan anak-anakku,”
ucap Kelik dengan terbata-bata dan batuk darah. “Insya Allah Lik,” jawabnya
dengan penuh keharuan. Ambulance tiba di rumah sakit. Petugas jaga dari UGD
rumah sakit itu langsung membawa Kelik ke ruang UGD dengan kasur dorong.
Di bawah terangnya cahaya lampu rumah sakit,
tampaklah kalau tubuh Kelik bermandikan darah. Luka disekujur tubuhnya memancarkan
darah. Aku hanya menanggis tak sanggup melihat penderitaan Kelik saat ini.
Seorang anak kecil membawa telpon seluler dengan membunyikan sebuah lagu cadas
yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Bersamaan dengan itu istri Kelik datang
menghampiriku. Dia langsung bertanya tentang kondisi Kelik. Aku tak sanggup
berkata apapun. Hanya isak tangis yang dapat kuucap. Pelan-pelan kucoba untuk
berkata kepadanya. “Kata dokter, Kelik sudah meninggal ketika diperjalanan.”
Jawabku bingung. “Tadi Kelik berpesan kepadaku untuk menjagamu dan menjaga
anak-anakmu,” lanjutku. Mendengar ucapanku, istrinya Kelik langsung menangis.
Walau menangis, aku lihat istrinya Kelik ini tetap tegar. Ia hanya menangis
sesegukkan. Tak sampai terisak-isak sepertiku. Sebelum ia memasuki kamar jenazah
untuk melihat jenazah suaminya, ia mengatakan sesuatu kepadaku. “Aku ikhlas
ditinggal mati oleh suamiku dan aku menyanggupi permintaan suamiku,” katanya
kepadaku. Keesokan harinya aku beserta masyarakat menguburkan jenazah Kelik di
kuburan Muslim. Aku memandikan jenazahnya, aku kafani jenazahnya, aku shalatkan
jenazahnya, dan aku kuburkan jenazahnya. Semoga Allah SWT meridhoimu masuk
jannah-Nya. ***Karya: Abdul Wahid (diambil dari: http://satugoresanpena.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar