Tulisan: Abdul Wahid

Selama di Aceh, orang-orang yang
menuntut ilmu agama Islam ini bekerja sebagai pengajar ilmu agama dan ada juga
yang menjadi pengarang kitab dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Salah satu
cendikiawan yang turut menuntut ilmu di Aceh ialah Hamzah Fansuri yang terkenal
dengan ajaran tasawuf wujudiyah-nya. Kehidupan Hamzah Fansuri tidak terlepas
dari sejarah perjalanan penyebaran agama Islam di Nusantara. Hamzah Fansuri
merupakan orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di
Nusantara dengan aliran tasawuf wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan
dan dipaparkan dengan lirik sastra Melayu.
Hamzah Fansuri adalah seorang
cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka. Ia diperkirakan
telah menjadi penulis pada masa Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1588-1604) dan dapat ditarik benang merah jika
Hamzah Fanshuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Ia
berasal dari Fansur yakni sebuah kota pantai di barat Sumatera bagian utara,
arah ke selatan daerah Aceh (sekarang sebagian masuk dalam wilayah Sumatera
Utara). Ciri khas negeri Fansur itu adalah penghasil kapur barus yang sangat
terkenal di dunia pada saat itu. Ia sering melakukan perjalanan untuk menuntut
ilmu, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekah,
Madinah, dan lain-lain.
Setelah pengembaraannya selesai, ia
kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Pada mulanya ia berdiam di Barus lalu
ke Banda Aceh, kemudian ia mendirikan dayah di Oboh, Singkil. Hamzah Fansuri
termasuk orang yang sangat gemar dan mementingkan dalam mencari ilmu, terutama
ilmu agama, khususnya tasawuf. Untuk itu, ia tidak segan-segan berpergian jauh
dalam waktu lama untuk tujuan itu. Namun, perjalanannya tidak hanya untuk
mencari ilmu pengetahuan tetapi juga untuk kepentingan amalan agama, terutama
berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianutnya. Hamzah Fansuri dapat dikatakan
tokoh tasawuf dari Aceh yang membawa faham wahdatul wujud. Ajaran Hamzah
Fansuri ini banyak bersumber dari pemikiran Ibnu Arabi. Ajaran wahdatul wujud
adalah ajaran yang meyakini bahwa Tuhan dapat bersatu dengan makhluknya atau
serupa dengan pengertian pantheisme. Jasanya yang paling menonjol dalam bidang
pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu
pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dunia lain.
Oleh karena itu, Hamzah Fansuri dianggap sebagai perintis penggunaan bahasa
Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang hingga kini semakin berkembang
pesat. Pada mulanya Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah menjadi anggota
tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Jailani. Pengaruh Hamzah
Fansuri cepat tersebar di seluruh Nusantara terutama melalui
pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama perantauan ke berbagai tempat
dan melalui karya-karyanya yang tersebar di seluruh Asia Tenggara.
Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-mana. Hamzah Fansuri tidak saja
dikenal sebagai ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka tetapi juga seorang
perintis dan pelopor pembaharuan yang sangat besar bagi perkembangan kebudayaan
Islam di Nusantara. Khususnya di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa,
dan sastra.
Di bidang keilmuan, Hamzah Fansuri
telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian
sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Hamzah Fansuri muncul,
masyarakat Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra
melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Hamzah Fansuri
juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu. Dasar-dasar
puitika ini terekam dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang diketahui tidak
kurang 32 untaian. Syair ini dianggap sebagai syair Melayu pertama yang ditulis
dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a-a-a-a
pada setiap barisnya. Ciri-ciri sajaknya yang menonjol akhirnya dijadikan
semacam konvensi sastra atau puisi Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda
kepengarangan. Kedua, banyak petikan ayat Al Qur’an, Hadits, Pepatah, dan
kata-kata Arab. Itu menunjukkan derasnya proses Islamisasi untuk pertamakalinya
melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu abad ke-16. Ketiga, dalam setiap
bait terakhir syairnya selalu mencantumkan takhallus (nama diri), yaitu nama
julukan yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau tempat
ia dibesarkan. Keempat, terdapat pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau
konseptual yang biasa digunakan oleh penyair-penyair Arab dan Persia dalam
melukiskan pengalaman dan gagasannya. Kelima, karena paduan yang seimbang
antara diksi atau pilihan kata, rima dan unsur-unsur puitik lainnya.
Sumbangan pemikiran selanjutnya
mengenai kebahasaan dapat dibaca dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf
Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis
dan mistis bercorak Islam. Sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa
Melayu. Islamisasi bahasa sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
Syair-syairnya bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi
juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan dalam
sistem bahasa dan budaya Melayu. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar
ditandingi oleh penyair lain yang sezaman bahkan sesudahnya. Bidang kebahasaan,
Hamzah Fansuri telah memberikan sumbangan pemikirannya. Pertama, sebagai
penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu. Ia telah berhasil
mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang
hebat. Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan
persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara
lainnya pada waktu itu. Oleh karena itu, pada abad ke-17 bahasa Melayu menjadi
bahasa pengantar pada berbagai lembaga pendidikan Islam. Bahkan digunakan pula
oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar
di sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini memberikan peluang besar terhadap bahasa
Melayu untuk berkembang maju dan dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa
persatuan dan kebangsaan Indonesia pada dewasa ini. Dalam bidang filsafat, ilmu
tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah mempelapori penerapan metode
takwil atau hermeneutika keruhanian. Sebagai contoh, dalam tulisannya Rahasia
Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri menyampaikan analisisnya dengan tajam dan dengan
landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika,
epistemologi, dan estetika. Murid Hamzah Fansuri yang terkenal ialah Syekh
Syamsuddin bin Abdullah as Samathrani. Ia sangat berpengaruh dalam kehidupan
keagamaan di Kesultanan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sayid
al Mukammal dan Sultan Iskandar Muda. Pendirian Syekh Syamsuddin itu merupakan
cerminan dari pendirian Hamzah Fansuri. Hal itu dapat dilihat dari seluruh
karya Syamsuddin, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap memperjelas pendirian
Hamzah Fansuri.
Salah satu pandangan dan uraian
Syamsuddin atas karya Hamzah Fansuri berjudul Ruba-i Hamzah Fansuri. Namun,
setelah Sultan Iskandar Muda meninggal, ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
mendapat serangan hebat dari ulama besar lainnya yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan
Abdurrauf Al Singkili. Bentuk dan sifat pertentangan ini berpangkal pada adanya
dua aliran dalam ilmu tasawuf yang memang sulit untuk dikompromikan. Aliran
pertama seperti sudah disebutkan yaitu wujudiyah, teori ini merupakan monisma
(serba esa). Menurut ahli tasawuf dari aliran itu, dunia hanyalah emanasi atau
pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Aliran yang kedua wihdatussyuhud
yakni kesatuan persaksian. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda sebenarnya
telah ada benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut tetapi dengan
kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai menimbulkan
kekacauan dikehidupan keagamaan. Sesudah Sultan Iskandar Muda mati maka Syekh
Nuruddin Ar Raniri berhasil mempengaruhi Sultan Iskandar Sani untuk meberantas
ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samathrani yang dianggap olehnya
sebagai ajaran sesat. Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as
Samathrani dibakar dan dimusnahkan. Serta rakyat Aceh dilarang menganut faham
kedua tokoh tersebut. Karya-karya Hamzah Fansuri dapat disebutkan di
kesusasteraan Melayu/Indonesia antaranya adalah: Syair Burung Pinggai,
bercerita tentang burung pinggai yang melambangkan jiwa manusia dan Tuhan.
Dalam syair itu, Hamzah Fansuri mengangkat satu masalah yang banyak dibahas
dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dan banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan
alamnya yang beraneka ragam. Syair Burung Pungguk, bercerita tentang hubungan
manusia denga Tuhan. Syair Perahu, melambangkan tubuh manusia sebagai perahu
layar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Apabila manusia kuat memegang
keyakinan akan Tuhan maka dapat dicapai suatu tahap yang menunjukkan tidak
adanya perbedaan antara Tuhan dengan Hambanya. Syair Dagang, bercerita tentang
kesengsaraan seorang anak dagang yang hidup di rantau. Asrar al Arifin fi Bayan
Ilmi as Suluk wa at Tauhid (keterangan mengenai perjalanan ilmu suluk dan
keesaan Tuhan), berisi pandangan Hamzah Fansuri tentang makrifat Tuhan, sifat
Tuhan, dan nama Tuhan. Dalam karya ini ia mengatakan bahwa pada dasarnya
syariat, hakikat, dan makrifat adalah sama. Syarah al Asyiqin (minuman
orang-orang yang cinta kepada Tuhan). Berisi antara lain tentang perbuatan
syariat, perbuatan tarikat, perbuatan hakikat, perbuatan makrifat, kenyataan
zat Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan. Di sini Hamzah Fansuri memandang Tuhan
sebagai yang maha sempurna dan yang maha mutlak. Dalam kesempurnaan itu, Tuhan
mencakup segala-galanya. Apabila tidak mencakup segala-galanya, Tuhan dapat
disebut maha sempurna dan maha mutlak, karena mencakup segala-galanya maka
manusia juga termasuk dalam Tuhan. Syair sidang faqir Syair ikan tongkol
Al-Muhtadi Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Posted By: abdul wahid (diambil dari: http://satugoresanpena.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar