Sabtu, 06 Desember 2014

Permainan Prasangka

Karya :  Kamila Asy Syifa

      Jam yang menggantung di tengah sisi ruangan menunjukkan pukul dua siang. Dwi yang menoleh ke arahnya segera mengambil handuk dan memasuki bilik kecil di bagian belakang bangunan rumahnya.
Hari ini ada jadwal kajian gelombang di perwakilan. Seperti hari-hari biasanya, baginya hari ini adalah hari yang istimewa. Bukan bermaksud mengkultuskan hari tertentu karena semua hari adalah sama. Namun, sudah beberapa bulan ini Dwi berbeda menjalani hari-harinya. Terkhusus setiap Senin ia memiliki acara yang tidak bisa digantikan dengan aktivitas lainnya.

Hampir tidak pernah absen semenjak Dwi mengenal kajian al-Qur’an dan Sunnah ini. Ia rajin sekali. Meskipun ada kerikil besar yang pernah menghalangi maksud baiknya. Gadis santun ini benar-benar memiliki keinginan dan semangat yang besar. Perubahan ke arah yang lebih baik dalam mengamalkan agama adalah tujuan utamanya. Hingga ia tak pernah putus asa menghadapi ujian yang menderanya.
Ia berucap, “Semakin nyata ujian yang kita terima, semakin yakin bahwa ini adalah suatu kebenaran.” Kata-kata itu sebagai pemantiknya untuk bersabar dalam menghadapi keluarganya yang tidak suka dengan aktivitas barunya ini. Orang-orang terdekatnya bahkan menganggapnya sesat saat diperhatikan perubahan perilaku yang terjadi pada putri sulungnya yang baru menginjak dewasa.
Dwi paham dengan kekhawatiran orang tuanya pada dirinya yang memang pendiam. Namun, semangatnya tidak bisa ia surutkan. Ia yakin apa yang ia lakukan ini adalah sebuah kebenaran yang bersumber dari hukum Islam utama, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Meski tidak terlihat baik di mata manusia. Karena kebenaran bisa jadi terlihat buruk di mata manusia dan kebaikan di mata manusia belum tentu suatu kebenaran dari Allah.
Teman-teman satu kajian ada yang iba mendengar kisahnya. Pun ada yang kagum dengan semangatnya di awal usianya menginjak kepala dua. Namun, semua itu ia acuhkan. Di sini yang ia cari adalah ilmu agar menjadi acuan amalnya menggapai ridha Allah. Bukan rasa belas kasihan atau pujian yang membuat dirinya lupa.
Hanya saja saat bersama mereka ia merasa memiliki teman yang bisa memahami dirinya sehingga menambah semangatnya. Meskipun di antara mereka Dwi lah yang paling muda.
Justru ia bisa belajar banyak tentang kehidupan kepada mereka yang sudah banyak makan garam. Terlebih menuju jenjang kehidupan berikutnya mengingat usianya yang akan terus bertambah. Teman-temannya sudah menjadi ibu yang mendidik anaknya dalam madrasah kehidupan ini.
***
Ujian dari Allah untuk hambaNya tidak akan berhenti sampai ajal menjemputnya. Sebagai bukti keimanan seorang anak Adam apakah sebenar-benar takwa dan memiliki kesabaran yang lebih. Surutkah ia di jalan Allah atas cobaan yang sedang menimpa atau ia tetap teguh mengikuti jalan lurus yang sudah ditunjukkanNya padanya.
Begitu yang dialami Dwi. Ujian atas hidayah Allah yang baru didapatkannya belum bisa berhenti menyapa. Terkadang ia mampu tegar dan berbaik sangka padaNya. Namun sebagai manusia biasa ia terkadang dirundung kesedihan yang mendalam. Menahan kisah seorang diri tanpa ada tempat berbagi.
Kata-kata bapaknya selalu ia ingat, “Kamu ini masih tanggung jawabku. Jadi Ndak usah macam-macam. Kecuali jika kamu sudah menikah. Terserah mau melakukan apa.” kilatan merah dari mata lelaki yang menafkahinya selama ini begitu mengiris hatinya. Menambah kepiluan.
“Apakah aku tidak boleh memilih jalan yang menentramkan hatiku? Ini soal hati pak. Aku nyaman dengan keadaanku sekarang.” Alasan itu pernah dilontarkannya saat bersitegang kata memuncak. Tapi tak pernah ada penyatuan di antara mereka. Hingga Dwi pun lebih memilih diam saat ada kata-kata yang menimpanya. Alasan itu hanya bisa diutarakan dalam hatinya yang berwujud uraian air mata sebagai bukti kesedihannya. Meskipun ia terus berusaha untuk tegar.
***
Seiring berputarnya waktu dan intensitas pertemuannya dengan kegiatan kajiannya semakin banyak, kini Dwi semakin akrab dengan semua teman kajian. Di sana rasa persaudaraan benar-benar terjalin. Persaudaraan berlandaskan iman kepada Allah meskipun awalnya tidak saling mengenal. Islam semakin terasa indah di hati Dwi. Semakin lekat ia membersamai jalan dakwah ini.
Suatu obrolan tiba-tiba saja membuatnya bersemu merah di pipi. Segera ia sadar untuk bertingkah biasa-biasa saja. Meski sebenarnya obrolan inilah yang pernah hinggap di pikirannya.
“Mbak Dwi, cari teman saja!” usul seorang teman Dwi.
“Teman apa Bu?” Dwi bingung memahami saran temannya. Apakah teman untuk diajak ikut kajian atau... ia takut melanjutkannya.
“Pendamping hidup Mbak.” Jawabnya sambil mengulas senyum.
Dwi bersipu malu. Jika pipinya kemerahan tentu hanya teman ngobrolnya itu yang tahu bagaimana suasana hatinya.
Jujur ndak ya? Bisiknya dalam hati.
“Terkadang memang terbersit di benak saya tentang ini Bu. Namun saya masih ragu belum banyak ilmu untuk membangun keluarga” Dwi merendah di depan temannya yang sekaligus istri ketua perwakilan.
“Kalau Mbak Dwi mau, bisa dicarikan laki-laki yang sama-sama ngaji. Biar nanti ada yang melindungimu. Terlebih kamu sering pulang malam usai kajian dengan jarak perjalananmu yang jauh Mbak. Laki-laki yang mampu membimbing dalam keluarga juga.”
Tempat kajian Dwi lumayan jauh. Sekitar 20 km. Ia tinggal di desa yang merupakan perbatasan kotanya dengan kota sebelah. Sementara tempat ia mendalami Islam berada di kota. Namun terlihat ia selalu semangat untuk terus belajar.
“Memangnya ada yang mau dengan saya Bu?”
“Tentu Mbak, Silahkan nanti Mbak Dwi membuat biodata diri disertai foto berwarna ya? Serahkan ke saya nanti saya salurkan ke suami. Insya Allah menjadi jalan yang diridhai Mbak.”
“Emmm..”
“Atau apakah Mbak Dwi sudah ada calon sendiri?”
“O...belum Bu. Jujur  saya punya keinginan berjodoh dengan jalan yang diridhai Allah lewat taaruf agar hati masing-masing mampu terjaga dari fitnah.”
“Iya Mbak, awal yang baik insya Allah menjadi pintu keridhaanNya di perjalanan hidup selanjutnya. Jadi segera diserahkan ya persyaratannya tadi!”
Ada perasaan bahagia memenuhi hati Dwi. Benarkah ini? Tidakkah aku bermimpi? Mengapa Bu Nisa’ memberikan perhatian sedalam ini? Dia mengerti apa yang aku inginkan ketika cobaan menderaku. Pertanyaan-pertanyaan memburunya bercampur rasa tak percaya. Semua berkas sudah diserahkan, ini menjadi usaha menempuh pertemuan dengan jodoh lewat jalan yang diridhoi Allah. Selanjutnya Dwi pasrah dan tawakal padaNya.
***
Bagi Dwi inilah masa-masa penantian setelah memilih perantara menemukan sang jodoh. Ia berpikir masa ini tidak akan berlangsung lama. Sebentar lagi akan ada panggilan untuk taaruf. Ibarat melamar pekerjaan yang menunggu panggilan. Tentu saja berbeda.
Setelah dirasakan, ternyata waktu itu belum kunjung tiba. Kenapa tak ada kabar? Sudah 6 bulan aku menyerahkan biodata beserta foto. Dwi mulai gelisah dan bertanya-tanya.  Namun ia berusaha menepisnya.
Aku tak boleh berprasangka buruk. Nanti di saat yang tepat akan tiba masa itu. Kini dalam masa penantian adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri padaNya. Belum banyak ilmuku untuk dipraktikkan. Dwi mengalihkan pikirannya.
Umurnya yang belumlah tua masih sempat dipergunakannya untuk hal-hal lain yang bermanfaat dan mendukung kehidupan selanjutnya. Meski keinginan itu menjadi keinginan utamanya.
***
Di saat ia tidak terlalu fokus pada keinginannya tiba-tiba saja gejala-gejala dan pertanda itu hadir menyapa.
Ini adalah donor darah kedua yang diikuti Dwi. Meski sebelumnya ia tak lolos menjadi pendonor karena tekanan darahnya yang rendah namun ia mencoba kembali. Siapa tahu lolos.
“Mbak Dwi mau daftar donor?” tanya ketua panitia tiba-tiba menyapa.
“Iya mau coba lagi” jawab Dwi lembut. Terlihat sekali sifatnya yang pemalu itu.
“OK. Saya catat ya” renyah suara pemuda yang sering dikagumi teman-teman Dwi yang sudah berumur. Diam-diam Dwi pun mulai mengagumi pemuda itu.
“Ehem..ehem” Mbak Nur yang ada di samping Dwi berdehem. Sekaligus mengagetkan Dwi.
Pemuda sopan yang masih terpaku sambil menuliskan sesuatu di kertas itu tersenyum dan segera undur diri.
“Mbak Dwi ini gimana sih?” sahut Bu Nisa’.
“Ada apa Bu?” Dwi terlihat kebingunan.
Malahan Mbak Nur dan Bu Nisa’ tertawa sambil lirik-lirikan berdua. Dwi semakin penasaran. Kenapa mereka?
“Gak apa-apa mbak” Mbak Nur buru-buru menyudahi candanya.
“Mbak Nur nih bocorin aja.” Celetuk Bu Nisa’.
Hingga keanehan yang didapati Dwi ini berakhir. Dwi pun hanya diam. Ia mengira memang tak ada apa-apa dengan kejadian tadi. Namun dalam diamnya ia tak mampu berhenti berpikir. Pikirannya pun melayang-layang.
Di hari yang lain, ia mendengar langsung seorang teman bicara padanya. “Mbak, kamu itu saya lihat cocok sekali dengan Mas Luqman. Sama-sama santun, sopan, ganteng dan cantik. Pantes pokoknya.” Ucap Bu Ning.
Dwi tak mampu mengeluarkan kata-kata. Kenapa tiba-tiba Bu Ning ngomong seperti itu. Padahal tidak ada percakapan di antara mereka yang mengarah ke sana. Rasanya tidak percaya.
Dwi menebak-nebak dua kejadian yang telah dialaminya. Prasangkanya mulai berjalan mengarah ke sana. Apakah ini ada hubungannya dengan... entahlah. Atau dia itu yang akan... Mas Luqman? Ia berusaha membuang jauh-jauh prasangkanya.
Sesuatu terjadi lagi. Dalam kajian sebelumnya ada PR menghafal sebuah ayat. Berikutnya ada yang dipilih untuk diuji hafalannya. Setelah Luqman dipilih, tiba-tiba kemudian Dwi juga dipilih.
Lagi-lagi ada yang nyeletuk, “Cocok”.
Dwi yang mendengarnya tidak mampu menahan prasangka itu muncul.
Biasanya mereka bertemu di parkiran saat Luqman bertugas menjaga parkir. Dwi yang pemalu berusaha bersikap biasa saja saat meminta bantuan untuk menurunkan motornya pada Luqman. Di antara mereka tidak pernah ada percakapan apapun. Itulah yang selama ini terjadi.
Namun, setelah kejadian runtut itu tiba-tiba Luqman menyapa Dwi. “Mau pulang mbak?” senyumnya selalu menghiasi.
“Iya” jawab Dwi singkat.
Sambil menurunkan motor Dwi, Luqman berucap, “Hati-hati ya Mbak.”
“Makasih”
***
Ternyata di balik diamnya Dwi tersimpan perasaan hebat yang mengguncang jiwanya. Prasangka-prasangka yang tak berujung jawabannya. Membuat Dwi merasa tersiksa menahan seorang diri. Ingin ia ungkapkan dan tanyakan, namun semua ia urungkan.
Beberapa kejadian yang menimpanya, ia kait-kaitkan sendiri di pikirannya. Dirinya dengan Luqman. Apakah ia akan ditaarufkan dengan Luqman? Melihat candaan Mbak Nur dan Bu Nisa’ Saat itu ada Luqman di sebelah Dwi. Mengenai ucapan Bu Ning yang begitu jelas. Pilihan ustad saat menguji hafalan, dan perilaku Luqman sendiri padanya.
Bagaimana bisa tenang hati Dwi dengan kejadian-kejadian itu. Ada apa gerangan? Bolehkah aku berprasangka Ya Allah? Apakah Mas Luqman itu yang nanti akan ditaarufkan denganku? Kenapa ia tiba-tiba menyapaku beberapa kali? Apakah masa penantian ini akan segera berakhir? Beberapa pertanyaan yang menggelayuti pikiran.
Bayangan sosok Luqman terus menghantuinya. Lamunan mengisi jiwanya. Astaghfirullaahal’adziim maafkan aku Ya Allah telah melalaikanMu. Sesal Dwi dengan tingkah lakunya.
Jika memang Luqman dita’arufkan denganku apakah akan berlanjut ke pelaminan? Maukah ia padaku yang belum seberapa ilmuku. Ia begitu baik, santun, terlihat berpendidikan. Terlebih sudah lama ia mengaji dan keluarganya juga. Tetapi, berbeda dengan latar belakang keluargaku. Namun, harapan dan prasangka itu masih bertempat di hatiku.
Sering Dwi memperhatikan sosok Luqman. Meski sudah tak nampak lagi gejala-gejala seperti yang dirasakan sebelumnya. Namun ia masih menaruh harap.
***
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Ucap seluruh peserta pengajian.
“Ada yang mau disampaikan, silahkan absensinya!” guru daerah mengawali.
“Absensi putra, .........pemberitahuan untuk kajian hari ini Mas Luqman sudah pamit pindah ke Solo” petugas absensi memberikan informasi.
Dwi yang semula tak terlalu saksama mendengarkan seketika kaget dengan informasi terakhir bahwa Luqman sekarang sudah pindah ke kota asalnya. Apa? Mas Luqman pindah ke Solo? Berarti dia tidak akan ngaji lagi di sini? Kenapa? Ada perasaan kecewa. Ingin mengetahui jawaban dari semua tanyanya. Dan terselip sesuatu yang mengisyaratkan bahwa sayap-sayap patah hati itu telah menimpanya.
Dari teman-teman yang lain informasinya adalah Luqman keluar dari kerjanya di mana kota Dwi berada. Dia ingin kembali ke kota asalnya. Entah ingin melanjutkan pendidikannya atau mendapatkan pekerjaan baru di sana atau ia sudah memiliki calon di sana. Itu informasi yang Dwi dapatkan dari obrolan teman-teman.
Bahkan Dwipun lihai menyembunyikan perasaannya. Tetap saja ia tenang. Seolah-oleh tak ada perasaan apa-apa pada sosok Luqman. Tak pernah ada sepatah katapun yang terucap oleh Dwi soal Luqman kepada teman-temannya.
Dwi berusaha menenangkan perasaannya. Ya Allah ternyata aku hanya berprasangka. Ini begitu menyakitkan. Aku berharap dia yang ditaarufkan padaku. Tetapi tiba-tiba saja ia pergi. Mungkin benar informasi yang aku dengar. Di kotanya ia sudah memiliki calon pendamping hidupnya. Iya..di Solo gadis-gadisnya kulihat cantik-cantik, cerdas, semangat, terlebih sholihah. Aku sendiri iri ketika berada di antara mereka. Wajar jika Mas Luqman pun memilih pasangannya di sana. Tentu mereka ngajinya sudah lama. Amalannya tak diragukan lagi. Semoga saja Mas Luqman bahagia.
Di sisi lain Dwi masih berprasangka, Mungkin Mas Luqman belum siap jika masa itu datang. Ia ingin menjaga hatinya dan hatiku hingga kita dipertemukan kembali dengan keadaan yang sama-sama siap dari semua segi. Mungkin suatu saat nanti ia akan kembali membawa kabar bahagia. Aku harus sabar. Fokusku memperbaiki diri.
***
3 bulan kemudian.
“Bulan ini banyak undangan lagi ya mbak.” seru Bu Tari pada Dwi.
“Iya kah Bu? Saya ndak ada.” balas Dwi.
Kemudian Bu Tari menghampiri ibu-ibu yang lain dan Dwi mendengar pembicaraan di antara mereka, “Tanggal 15 nanti Mas Luqman menikah katanya”
“Iyakah Bu?
“Iya, suamiku dapat undangannya. Katanya calonnya anak pengurus lho.”
“Levelnya tinggi ya”
Dwi yang mendengar percakapan itu masih berusaha tenang. Meskipun hatinya terasa ada yang menyayat. Sampai kini Dwi masih berharap dengan prasangkanya bahwa Luqman akan kembali dengan membawa kabar bahagia. Namun, ternyata Allah menghendaki lain.
Ternyata Mas Luqman bukan orangnya. Dia sudah punya pilihan. Pasti calonnya sangat cantik, cerdas, sholihah lagi. Apalagi anaknya pengurus. Tentu idaman lelaki. Alhamdulillah semoga mereka bahagia. Dwi berusaha tegar. Dan berprasangka baik. Meski hatinya hancur berkeping-keping.
Ya Allah aku memang tak banyak ilmu. Sekarang pun aku hanya makhluk yang berusaha untuk menjadi lebih baik di hadapanMu. Kini aku pasrahkan padaMu tentang urusan jodohku. Aku tak mampu menebak siapakah orangnya. Dan aku tak ingin berprasangka mengharap pada manusia. Ku ingin selalu berprasangka baik padaMu semata. Dan kini adalah kesempatanku untuk memperbaiki diri. 
Dwi mengulang kembali ayat Allah Surah an-Nur ayat 26.

6 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar