Oleh : Wisnu Arfian
Pemuda memang bukan
sekedar kata yang sederhana, banyak hal menarik untuk dibicarakan, salah
satunya tentang pendidikan. Pendidikan secara empiris adalah menanamkan
nilai-nilai norma dan kedewasaan melalui proses pengajaran. Pengajaran yang
baik ketika seluruh proses mengajar dapat merasuk pada hati sanubari peserta
didik/peserta ajar. Dalam tataran yang dilazimi, proses ini berlaku untuk
manusia dengan umur di bawah sembilan belas tahun sehingga perguruan tinggi
jarang menetapkan nilai-nilai yang norma yang wajib dipahami para peserta
didik.
Menguak polemik dunia
pendidikan memang tak akan pernah habis. Mulai dari permasalahan bangunan fisik
hingga nilai spiritualitas pendidikan. Begitu banyaknya permasalahan
membutuhkan penanganan dan program kuratif yang tidak hanya satu. Seperti
penyakit komplikasi, butuh terapi yang kompleks untuk mengobati berbagai macam
penyakit yang ada. Inilah yang belum dapat terpikir secara holistik dalam
bidang pendidikan. Minimal proses controlling
harus dilakukan untuk mengetahui keadaan sebuah proses pendidikan di suatu
daerah.
Lebih kompleks
lagi, proses pendidikan akan selalu bertarung dengan motivator di luar
pendidikan untuk merusak produk pendidikan. Terlalu muluk mungkin jika
disampaikan sebagai sebuah produk pendidikan. Akan lebih tepat jika dikatakan untuk sementara
sebagai proses pengajaran. Selama ini di kota-kota besar, pendidikan belum
dapat menyentuh pada tingkat mendidik peserta didik sehingga taraf itu bergeser
nilai menjadi proses pengajaran. Mendidik sebagai aktivitas sentral dan mulia
belum dapat dilakukan secara optimal karena harus selalu bersaing dengan
pengaruh-pengaruh dari luar yang semakin membiak.
Tujuan pendidikan
secara mudah adalah untuk mendidik anak didik. Mendidik memang bukanlah hal
yang mudah, melainkan sekedar mengajar. Namun sepertinya, target pendidikan di
Indonesia masih menyangkut di ranah
kualitas nilai dengan acuan nilai ujian yang baik tanpa melihat secara utuh
tentang bagaimana mendapatkan nilai tersebut.
Suatu saat, pernah
penulis tanyakan kepada salah seorang guru di sekolah menengah pertama (SMP)
tentang tingkat kelulusan kelas IX. Beliau menjawab kelulusannya 100%, tetapi
tidak merasa bangga dengan kelulusan 100% tersebut. Pasalnya ujian sepertinya
hanya formalitas, banyak yang menyontek sehingga nilai tidak dapat didapat dari
hasil jerih payah sendiri. (Mungkin saja akan diusulkan, setiap kelas diberi
CCTV). Belum lagi permasalahan tentang bagaimana kualitas akhlaq dari lulusan
tersebut. Belum diumumkan saja, sudah coret – coret baju dan memenuhi jalanan
dengan aksi ugal – ugalan motor. Sepertinya pemindahan jam pengumuman menjadi
sore hari seperti yang dilakukan di beberapa kota, tidak terlalu berpengaruh
pada ‘tradisi’ ugal – ugalan tak jelas seperti itu.
Beliau, guru
tersebut juga bercerita ketika diterangkan tentang pelajaran agama kepada siswa
didiknya (SMP), ada yang menjawab dengan tegas, belum membutuhkan hal semacam
agama dan aturan. Entah bagaimana dia
bisa menjawab dan berpikiran seperti itu, namun agaknya lingkungan yang
mempengaruhi dan mencetak kata- kata yang ia ucapkan. Sepertinya perlu diurai
satu per satu permasalahan pelik seperti hal di atas
Keteladanan
Sesungguhnya yang diperlukan oleh murid adalah sebuah
keteladanan, baik keteladanan yang diciptakan oleh seorang pendidik dan
pengajar maupun keteladanan yang dicontohkan oleh sosok yang disampaikan oleh
para pendidik dimana pendidik juga ikut mencontoh sosok tersebut. Dengan hal
ini, tanpa digiring ke arah nasehat yang panjang dan lebar pun, murid akan
berusaha meniru gurunya. Seperti pepatah jawa, guru iku digugu lan ditiru, seorang guru itu dipatuhi dan
diteladani. Adanya keteladanan dari seorang guru bagi murid akan meminimalisasi
pencarian keteladanan lain oleh seorang murid.
Permasalahan
sekarang, guru belum dapat menjadi teladan sepenuhnya. Dengan tidak bermaksud
mendiskreditkan seorang guru, memang ada beberapa guru yang sangat pantas
dicontoh namun tak sedikit pula yang belum bisa memberikan sebuah contoh baik.
Akhirnya, para murid akan mencari idola-idola baru yang “harus” mereka contoh.
Padahal belum tentu idolanya tersebut mengusung konsep kebaikan, etika dan
estetika. Konsep yang sering diusung adalah liberalisme, eksistensialisme,
serta materialisme. Konsep filsafat yang sesat dan menyesatkan yang secara
tidak sadar para peserta didik mendalaminya.
Sebagai contoh
mudah, tawuran adalah konsep liberalisme, yang mengedepankan sebuah kebebasan.
Mereka bertindak bebas. Perbedaan pendapat dan kesalahan kecil menjadi dasar
bahwa kebenaran harus ditegakkan menurut sebuah konsep sesat liberalisme. Oleh
karena itu, tak sedikit korban jiwa baik dari pihak yang bertikai maupun pihak
lain yang mungkin berusaha melerai. Contoh lain adalah komunitas punk di tepi
jalan. Mereka memang bukanlah komunitas yang membahayakan dan merugikan bagi
orang lain, tetapi bagi diri mereka sendiri adalah sangat rugi. Konsep ini yang
didalami para punkers – sebutan penganut punk -
yaitu eksistensialisme. Kebenaran berlaku pada pelaku, asal tidak
merugikan orang lain. Sulit mencari siapa yang salah dan siapa yang bertanggung
jawab. Di sinilah peran guru sebagai orang tua kedua di sekolah. Keteladanan
dan pendekatan harus dilakukan selain pemberian “asupan” materi. Maka tidak
terlalu menakutkan ungkapan, seorang guru juga seorang psikolog.
Perhatian dan agama
Memang tidak dapat
dipungkiri, orang tua adalah madrasah bagi seorang anak, terlebih anak – anak
yang masih dalam masa pertumbuhan pemikirannya. Mereka hampir tidak memiliki
filter. Apa saja yang mereka dapat, belum dapat terbedakan dengan jelas mana
yang sebaiknya dilakukan dan ditiru dan mana yang wajib untuk ditinggalkan dan
dijauhi. Komunitas – komunitas anak muda dengan umur sebaya jika tidak
diperhatikan secara mendetail, bisa jadi jalan keluar dari kurangnya perhatian
orang tua kepada anak. Tidak sedikit anak muda yang kecanduan narkoba dan miras
akibat dari pengaruh lingkungan dan komunitas yang mereka ikuti. Belum lagi
tawuran bahkan hingga aksi perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan.
Selain perhatian
orang tua, tentu saja rumah kedua dari seorang anak muda adalah tempat belajar.
Maka sekolah dan gurulah yang juga bertanggung jawab terhadap pemberian asupan
pemikiran dan ide pada murid. Jika guru salah memberikan penjelasan, mudah saja
murid menjadi salah. Sebagai contoh, guru yang sering marah – marah hingga
berucap kasar dan jorok, secara otomatis siswa akan meniru perilaku guru
tersebut. Begitu pula guru yang hobi dengan gurauan tabu, murid akan sedikit –
sedikit terstimulasi pada hal yang demikian.
Amoralitas yang masih menghujam kuat dalam diri seorang
pemuda mau tak mau harus segera dibasmi. Tindakan preventif seperti pendekatan
terhadap murid oleh seorang guru wajib dilakukan. Keteladanan perlu
dicontohkan. Hal ini akan menyentuh hati dan jiwa para murid sehingga mereka
akan mencontoh guru sebagai idolanya. Tak lepas pula dari hal tersebut, yang
terpenting pula untuk membentengi diri murid dari tindakan amoral adalah
pemberian pendidikan keagamaan. Tak pernah ada yang menyangkal bahwa agama
adalah sumber kebaikan. Seharusnyalah pendidikan dan pengajaran keagamaan
diterapkan dengan sebaik-baiknya.
Kuantitas
pendidikan keagamaan sebaiknya ditambah karena tantangan ke depan bagi
seseorang murid semakin bertambah. Konsep yang harus diubah pula dalam dunia
pendidikan bahwa hasil akhir bukanlah hasil utama yang wajib ditempuh, tetapi
proses pendidikanlah yang menjadi tolok ukur. Dengan hal tersebut, maka tidak
akan pernah merasa sia-sia jika sebuah pelajaran keagamaan memiliki porsi yang
lebih besar dibanding pelajaran eksakta. Penerapan dari pendidikan keagamaan
juga sebaiknya terawasi oleh para pendidik. Contoh kecil saja mengajak sholat
berjamaah bersama, qiro’ah al-Qur’an sebelum pelajaran pertama dimulai,
melakukan pengajian rutin dan beberapa aktivitas yang mudah dilakukan bagi
seorang pendidik dan anak didik. Dengan melibatkan seluruh elemen pada dunia
pendidikan, tanpa sadar telah menanamkan pendidikan karakter pada jiwa anak
didik. Sebuah konsep yang cerdas dalam menyentuh hati peserta didik tanpa
bersifat menggurui dan mendoktrin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar