Kamis, 23 Januari 2014

Pemuda dan Pendidikan


Oleh : Wisnu Arfian
           
            Pemuda memang bukan sekedar kata yang sederhana, banyak hal menarik untuk dibicarakan, salah satunya tentang pendidikan. Pendidikan secara empiris adalah menanamkan nilai-nilai norma dan kedewasaan melalui proses pengajaran. Pengajaran yang baik ketika seluruh proses mengajar dapat merasuk pada hati sanubari peserta didik/peserta ajar. Dalam tataran yang dilazimi, proses ini berlaku untuk manusia dengan umur di bawah sembilan belas tahun sehingga perguruan tinggi jarang menetapkan nilai-nilai yang norma yang wajib dipahami para peserta didik.
            Menguak polemik dunia pendidikan memang tak akan pernah habis. Mulai dari permasalahan bangunan fisik hingga nilai spiritualitas pendidikan. Begitu banyaknya permasalahan membutuhkan penanganan dan program kuratif yang tidak hanya satu. Seperti penyakit komplikasi, butuh terapi yang kompleks untuk mengobati berbagai macam penyakit yang ada. Inilah yang belum dapat terpikir secara holistik dalam bidang pendidikan. Minimal proses controlling harus dilakukan untuk mengetahui keadaan sebuah proses pendidikan di suatu daerah.
            Lebih kompleks lagi, proses pendidikan akan selalu bertarung dengan motivator di luar pendidikan untuk merusak produk pendidikan. Terlalu muluk mungkin jika disampaikan sebagai sebuah produk pendidikan. Akan  lebih tepat jika dikatakan untuk sementara sebagai proses pengajaran. Selama ini di kota-kota besar, pendidikan belum dapat menyentuh pada tingkat mendidik peserta didik sehingga taraf itu bergeser nilai menjadi proses pengajaran. Mendidik sebagai aktivitas sentral dan mulia belum dapat dilakukan secara optimal karena harus selalu bersaing dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang semakin membiak.
            Tujuan pendidikan secara mudah adalah untuk mendidik anak didik. Mendidik memang bukanlah hal yang mudah, melainkan sekedar mengajar. Namun sepertinya, target pendidikan di Indonesia masih  menyangkut di ranah kualitas nilai dengan acuan nilai ujian yang baik tanpa melihat secara utuh tentang bagaimana mendapatkan nilai tersebut.
            Suatu saat, pernah penulis tanyakan kepada salah seorang guru di sekolah menengah pertama (SMP) tentang tingkat kelulusan kelas IX. Beliau menjawab kelulusannya 100%, tetapi tidak merasa bangga dengan kelulusan 100% tersebut. Pasalnya ujian sepertinya hanya formalitas, banyak yang menyontek sehingga nilai tidak dapat didapat dari hasil jerih payah sendiri. (Mungkin saja akan diusulkan, setiap kelas diberi CCTV). Belum lagi permasalahan tentang bagaimana kualitas akhlaq dari lulusan tersebut. Belum diumumkan saja, sudah coret – coret baju dan memenuhi jalanan dengan aksi ugal – ugalan motor. Sepertinya pemindahan jam pengumuman menjadi sore hari seperti yang dilakukan di beberapa kota, tidak terlalu berpengaruh pada ‘tradisi’ ugal – ugalan tak jelas seperti itu.
            Beliau, guru tersebut juga bercerita ketika diterangkan tentang pelajaran agama kepada siswa didiknya (SMP), ada yang menjawab dengan tegas, belum membutuhkan hal semacam agama dan  aturan. Entah bagaimana dia bisa menjawab dan berpikiran seperti itu, namun agaknya lingkungan yang mempengaruhi dan mencetak kata- kata yang ia ucapkan. Sepertinya perlu diurai satu per satu permasalahan pelik seperti hal di atas
Keteladanan
Sesungguhnya yang diperlukan oleh murid adalah sebuah keteladanan, baik keteladanan yang diciptakan oleh seorang pendidik dan pengajar maupun keteladanan yang dicontohkan oleh sosok yang disampaikan oleh para pendidik dimana pendidik juga ikut mencontoh sosok tersebut. Dengan hal ini, tanpa digiring ke arah nasehat yang panjang dan lebar pun, murid akan berusaha meniru gurunya. Seperti pepatah jawa, guru iku digugu lan ditiru, seorang guru itu dipatuhi dan diteladani. Adanya keteladanan dari seorang guru bagi murid akan meminimalisasi pencarian keteladanan lain oleh seorang murid.
            Permasalahan sekarang, guru belum dapat menjadi teladan sepenuhnya. Dengan tidak bermaksud mendiskreditkan seorang guru, memang ada beberapa guru yang sangat pantas dicontoh namun tak sedikit pula yang belum bisa memberikan sebuah contoh baik. Akhirnya, para murid akan mencari idola-idola baru yang “harus” mereka contoh. Padahal belum tentu idolanya tersebut mengusung konsep kebaikan, etika dan estetika. Konsep yang sering diusung adalah liberalisme, eksistensialisme, serta materialisme. Konsep filsafat yang sesat dan menyesatkan yang secara tidak sadar para peserta didik mendalaminya.
            Sebagai contoh mudah, tawuran adalah konsep liberalisme, yang mengedepankan sebuah kebebasan. Mereka bertindak bebas. Perbedaan pendapat dan kesalahan kecil menjadi dasar bahwa kebenaran harus ditegakkan menurut sebuah konsep sesat liberalisme. Oleh karena itu, tak sedikit korban jiwa baik dari pihak yang bertikai maupun pihak lain yang mungkin berusaha melerai. Contoh lain adalah komunitas punk di tepi jalan. Mereka memang bukanlah komunitas yang membahayakan dan merugikan bagi orang lain, tetapi bagi diri mereka sendiri adalah sangat rugi. Konsep ini yang didalami para punkers – sebutan penganut punk -  yaitu eksistensialisme. Kebenaran berlaku pada pelaku, asal tidak merugikan orang lain. Sulit mencari siapa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab. Di sinilah peran guru sebagai orang tua kedua di sekolah. Keteladanan dan pendekatan harus dilakukan selain pemberian “asupan” materi. Maka tidak terlalu menakutkan ungkapan, seorang guru juga seorang psikolog.

Perhatian dan agama
            Memang tidak dapat dipungkiri, orang tua adalah madrasah bagi seorang anak, terlebih anak – anak yang masih dalam masa pertumbuhan pemikirannya. Mereka hampir tidak memiliki filter. Apa saja yang mereka dapat, belum dapat terbedakan dengan jelas mana yang sebaiknya dilakukan dan ditiru dan mana yang wajib untuk ditinggalkan dan dijauhi. Komunitas – komunitas anak muda dengan umur sebaya jika tidak diperhatikan secara mendetail, bisa jadi jalan keluar dari kurangnya perhatian orang tua kepada anak. Tidak sedikit anak muda yang kecanduan narkoba dan miras akibat dari pengaruh lingkungan dan komunitas yang mereka ikuti. Belum lagi tawuran bahkan hingga aksi perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan.
            Selain perhatian orang tua, tentu saja rumah kedua dari seorang anak muda adalah tempat belajar. Maka sekolah dan gurulah yang juga bertanggung jawab terhadap pemberian asupan pemikiran dan ide pada murid. Jika guru salah memberikan penjelasan, mudah saja murid menjadi salah. Sebagai contoh, guru yang sering marah – marah hingga berucap kasar dan jorok, secara otomatis siswa akan meniru perilaku guru tersebut. Begitu pula guru yang hobi dengan gurauan tabu, murid akan sedikit – sedikit terstimulasi pada hal yang demikian.
Amoralitas yang masih menghujam kuat dalam diri seorang pemuda mau tak mau harus segera dibasmi. Tindakan preventif seperti pendekatan terhadap murid oleh seorang guru wajib dilakukan. Keteladanan perlu dicontohkan. Hal ini akan menyentuh hati dan jiwa para murid sehingga mereka akan mencontoh guru sebagai idolanya. Tak lepas pula dari hal tersebut, yang terpenting pula untuk membentengi diri murid dari tindakan amoral adalah pemberian pendidikan keagamaan. Tak pernah ada yang menyangkal bahwa agama adalah sumber kebaikan. Seharusnyalah pendidikan dan pengajaran keagamaan diterapkan dengan sebaik-baiknya.
            Kuantitas pendidikan keagamaan sebaiknya ditambah karena tantangan ke depan bagi seseorang murid semakin bertambah. Konsep yang harus diubah pula dalam dunia pendidikan bahwa hasil akhir bukanlah hasil utama yang wajib ditempuh, tetapi proses pendidikanlah yang menjadi tolok ukur. Dengan hal tersebut, maka tidak akan pernah merasa sia-sia jika sebuah pelajaran keagamaan memiliki porsi yang lebih besar dibanding pelajaran eksakta. Penerapan dari pendidikan keagamaan juga sebaiknya terawasi oleh para pendidik. Contoh kecil saja mengajak sholat berjamaah bersama, qiro’ah al-Qur’an sebelum pelajaran pertama dimulai, melakukan pengajian rutin dan beberapa aktivitas yang mudah dilakukan bagi seorang pendidik dan anak didik. Dengan melibatkan seluruh elemen pada dunia pendidikan, tanpa sadar telah menanamkan pendidikan karakter pada jiwa anak didik. Sebuah konsep yang cerdas dalam menyentuh hati peserta didik tanpa bersifat menggurui dan mendoktrin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar