Minggu, 05 Januari 2014

Penolakan yang Berakhir dengan Penyesalan

Oleh : Izzatun Nadia


Pagi itu duniaku seakan hilang, cahaya seakan sirna dari duniaku. Deras air mata seolah menjadi lanjutan atas hujan semalam. Semuanya seolah terenggut dari ku, keceriaan, kebahagiaan, kegembiraan, tawa, dan senyum seolah benar-benar pergi dari duniaku,
dari kehidupanku.
***
       Aku terduduk sendiri di sebuah ruang yang sepi. Ruangan dengan cat putih dilengkapi dengan sofa panjang berwarna  peach dengan meja kecil berwarna sama di ujung sofa. Tumpukan koran- koran lama dan beberapa majalah mengisi ruangan di bawah meja kecil itu.
       Bosan mulai menghantuiku, dan kantuk pun mulai menggantung di kelopak mataku, sesekali kulihat telepon genggamku yang serasa sunyi tanpa penghuni, tiada SMS atau pesan chat lain yang masuk. Argh..!! dunia ini serasa tanpa penghuni. Beberapa orang sesekali melewatiku, dan kemudian menghilang dibalik etalase tinggi berisi berbagai macam obat-obatan dan beberapa produk makanan dan minuman dalam kemasan.
       suara aktor dan aktris yang beradu akting dalam televisi pun tak mampu mengusir bosan dan kantukku. Kelopak mataku makin berat, hingga akhirnya ruangan bercat putih itu berubah gelap, dan aku tak ingat apapun setelahnya.
***

       indraku menangkap sesuatu, ada yang aneh dalam kegelapan itu. Perlahan kegelapan itu berganti, sedikit demi sedikit cahaya kembali memenuhi retinaku, membentuk suatu bayangan yang kemudian ter-refleksi dalam otakku, tepat di depan wajahku. Tak butuh waktu yang lama untuk otakku mendefinisikan bayangan itu. Sesosok wajah yang tak asing bagiku, wajah dengan pipi tirus dan kulit muka yang berkeriput dengan gelambir kulit menggantung di pipinya. Wajah yang begitu tenang, ramah, dan cantik.
       Wajah itu tersenyum padaku. Argh..!! entah mengapa senyum itu selalu berhasil memadamkan api amarah dan emosi dalam hatiku, menghangatkan dan mencairkan dinginnya hatiku. Tapi egoku menutup segalanya, aku urung untuk membalas senyumnya yang cantik luar biasa.
“Dea ngantuk yaa?” suara lembut wanita di hadapanku menggetarkan batinku.
“hemt”
“mampir beli bakso atau mie ayam yuk de,  bunda lapar”
“malas, bunda kan liat sendiri dea ngantuk bun, dea pengen pulang aja lagian siang-siang begini panas banget”
“yahh dea tapi bunda pingin makan bakso, dea mau yaa mumpung bunda lagi ada selera makan walaupun hanya makan bakso”
“ahh, bunda dea malass”
“yahh dea, bunda pingin banget nih.. dea mau liat bunda gak makan?”
“argh, iya udah, bunda mau bakso di mana? Ayo dea antar!”
       Seketika itu kulihat raut wajah bunda yang berubah. Jantung ku berdegup kencang, takut bunda terluka karena ucapanku barusan. Dari dalam ruangan bertembok putih dengan sofa peach itu aku dan bunda berjalan keluar menuju parking area di depan gedung itu. Bunda masih tetap pada ekspresinya yang murung, dan kami berjalan dalam kediaman yang benar-benar menghujam hatiku. Rasa bersalah tak henti menghantuiku hingga tiba di parking area.
“bunda jadi pingin beli bakso? Dea mau antar kok bunda”
“ndak jadi, kita pulang aja de”
“beneran bun?”
“Iya dea, kita pulang sekarang”
***
       Malam itu hujan deras menghujam bumi tanpa ampun. Gemuruh guntur dan kilat menggetarkan kaca-kaca itu. Aku masih di sini, sebuah ruang yang berbau obat dan menyebalkan. Di hadapanku, tubuh itu masih terbaring lemah seolah tiada daya lagi padanya. Air mataku kemudian mulai menetes, melihat lemah tubuh itu membuatnya mengalir makin deras.
       Makin lama air mataku makin deras mengalir, tubuhku pun mulai terguncang oleh isak tangisku. Bersama dengan lantun tahlil yang tak putus-putusnya kuucap di telinganya, otakku bagai mesin waktu yang menyeretku kembali di waktu itu. waktu di mana sosok yang terbaring tanpa daya di hadapanku saat ini meminta suatu hal sederhana, yang kemudian tak dapat kupenuhi. Waktu di mana aku benar-benar membuat luka pada hatinya, yang kemudian aku tak sempat benar-benar meminta maaf padanya.
***
       Bunyi gesekan antara pintu dengan ubin tanda sang pintu tengah dibuka membuyarkan lamunanku. Spontan kutolehkan wajahku ke arah pintu, aku tak ingin ada orang yang tahu jika saat ini aku tengah menangis. Segera kuusap air mataku dengan ujung jilbab yang sedari pagi tadi aku gunakan. Tiga sosok yang kemudian nampak tak asing lagi dalam hidupku, om dan kedua tanteku. mereka menghampiriku, ikut duduk bersama ku di sisi kasur itu. tanpa banyak bertanya ini itu, lantun tahlil segera keluar dari mulut mereka.
       Tak lama setelah kedatangan om dan tanteku, aku tertidur dengan kepalaku yang kuletakkan di sisi bed itu. sentuhan halus di pundakku membuatku terkaget hingga kemudian aku terbangun.
“dea bobok aja di bawah, biar bisa rebahan. Daripada badan dea jadi gak enak besok” kata orang yang menyentuh bahuku, dan kemudian ku tahu dia tanteku.
“iya tante, sebentar lagi. Dea masih pingin sama bunda, nemenin bunda” kataku
“tante tau de, kamu pengen jagain bundamu. Tapi kamu juga harus jaga kondisi tubuhmu, udah tidur dulu sana”
“Tapi tante, yang jagain bunda siapa?”
“kamu itu lo aneh de, di sini kan banyak orang. Ada om, tante, mbah semuanya bisa kok dek jagain bundamu”
“emmm.. yaudah tante, dea tidur dulu. Oya, ayah di mana tante? Dea gak liat dari tadi maghrib”
“ayahmu di luar dek, di ruang tunggu sama om kamu”
“oh, yaudah tante dea tidur dulu ya”
***
“assalamu’alaikum” kata bunda sambil membuka pintu rumah kami.
       Tak biasanya bunda begini, hanya salam dan kemudian diam. Tiada basa-basi yang biasanya dilakukan bunda tiap pulang dari klinik bersamaku. Bunda langsung menuju kamarnya, dan langkahku terhenti satu meter di depan pintu kamar bunda. Kali ini aku benar-benar merasa sudah sangat jahat menyakiti hatinya. Aku ingin menemuinya dan meminta maaf padanya, tapi aku takut. Kemudian, langkahku berbalik dan bergegas masuk dalam kamarku.
       Tak lama aku berada dalam kamar, namaku dipanggil-panggil oleh suara yang tak asing bagiku. Suara khas nenek ku yang kemudian memaksaku untuk keluar kamar dan segera menemuinya.
“deaaaaaaaaaa.. bundamu ini kamu apa kan to nak, kok sampai nangis begini?”
“iyaaa mbahhh, dea kesana.”
       Hatiku benar-benar kacau oleh kata-kata mbahku itu, ya Allah bunda menangis dan itu karena aku. Ya Allah, aku benar-benar menyesali perbuatanku di klinik tadi. Aku benar-benar salah pada bunda.
“bundamu i Cuma pingin bakso lho nak, kamu itu kenapa to gak mau mbeliin buat bundamu?”
“dea bukan gak mau mbah, tadi emang dea keberatan tapi akhirnya dea tawarin lagi sama bunda. Tapi kata bunda pilih pulang aja”
       Beberapa detik itu menyiksaku dengan hening yang sangat. Kami bertiga hanya terdiam, saling melirik, dan sibuk dalam pikiran masing-masing hingga suara bunda memecah keheningan yang lama-lama membunuhku.
“bunda gak papa dea, bunda minta maaf yaa. Bunda itu Cuma pingin dea ngerti kondisi bunda, yah siapa tau itu permintaan terakhir dari bunda. Yaudahlah de, gak usah sedih bunda ngerti kok”
***
       Tidurku gelisah, aku benar-benar merasa tidak nyaman dengan terpejamnya mataku. mimpi itu, kata-kata itu, seolah nyata tergambar kembali dalam memoriku. Kemudian, kata-kata bunda  menjadi penutup mimpiku setelah aku terbangun dan mendapati orang-orang yang berwajah bingung dan panik. Ada apa ini?
       Tanpa ku sadari, air mataku kembali meleleh. Aku benci suasana ini, tiada satu pun yang memperhatikanku. Semuanya bingung dan aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Semua orang berkumpul di sisi-sisi bed tempat semula bunda berbaring. Ketika aku belum benar-benar menyadari apa yang terjadi, subuh menjelang dengan anggun dan indahnya panggilan untuk menghadap pada-Nya.
Isak tangis kemudian mulai muncul dari mulutku, memecah perhatian orang-orang itu. kemudian semua perhatian tertuju pada tangisku yang makin lama makin kencang. Tatapan-tatapan mereka padaku, memberi satu titik kesimpulan padaku tentang apa yang terjadi. Dan di akhir semua itu, tangis benar-benar tak dapat lagi dicegah.
***
Pagi itu duniaku seakan hilang, cahaya seakan sirna dari duniaku. Deras air mata seolah menjadi lanjutan atas hujan semalam. Semuanya seolah terenggut dari ku, keceriaan, kebahagiaan, kegembiraan, tawa, dan senyum seolah benar-benar pergi dari duniaku, kehidupanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar