Pagi
itu duniaku seakan hilang, cahaya seakan sirna dari duniaku. Deras air mata
seolah menjadi lanjutan atas hujan semalam. Semuanya seolah terenggut dari ku,
keceriaan, kebahagiaan, kegembiraan, tawa, dan senyum seolah benar-benar pergi
dari duniaku,
dari
kehidupanku.
***
Aku
terduduk sendiri di sebuah ruang yang sepi. Ruangan dengan cat putih dilengkapi
dengan sofa panjang berwarna peach dengan meja kecil berwarna sama di
ujung sofa. Tumpukan koran- koran lama dan beberapa majalah mengisi ruangan di bawah
meja kecil itu.
Bosan
mulai menghantuiku, dan kantuk pun mulai menggantung di kelopak mataku, sesekali
kulihat telepon genggamku yang serasa sunyi tanpa penghuni, tiada SMS atau
pesan chat lain yang masuk. Argh..!! dunia ini serasa tanpa
penghuni. Beberapa orang sesekali melewatiku, dan kemudian menghilang dibalik
etalase tinggi berisi berbagai macam obat-obatan dan beberapa produk makanan
dan minuman dalam kemasan.
suara
aktor dan aktris yang beradu akting dalam televisi pun tak mampu mengusir bosan
dan kantukku. Kelopak mataku makin berat, hingga akhirnya ruangan bercat putih
itu berubah gelap, dan aku tak ingat apapun setelahnya.
***
indraku
menangkap sesuatu, ada yang aneh dalam kegelapan itu. Perlahan kegelapan itu
berganti, sedikit demi sedikit cahaya kembali memenuhi retinaku, membentuk
suatu bayangan yang kemudian ter-refleksi dalam otakku, tepat di depan wajahku.
Tak butuh waktu yang lama untuk otakku mendefinisikan bayangan itu. Sesosok
wajah yang tak asing bagiku, wajah dengan pipi tirus dan kulit muka yang
berkeriput dengan gelambir kulit menggantung di pipinya. Wajah yang begitu
tenang, ramah, dan cantik.
Wajah
itu tersenyum padaku. Argh..!! entah
mengapa senyum itu selalu berhasil memadamkan api amarah dan emosi dalam
hatiku, menghangatkan dan mencairkan dinginnya hatiku. Tapi egoku menutup
segalanya, aku urung untuk membalas senyumnya yang cantik luar biasa.
“Dea ngantuk yaa?”
suara lembut wanita di hadapanku menggetarkan batinku.
“hemt”
“mampir beli bakso atau
mie ayam yuk de, bunda lapar”
“malas, bunda kan liat
sendiri dea ngantuk bun, dea pengen pulang aja lagian siang-siang begini panas
banget”
“yahh dea tapi bunda pingin
makan bakso, dea mau yaa mumpung bunda lagi ada selera makan walaupun hanya
makan bakso”
“ahh, bunda dea malass”
“yahh dea, bunda pingin
banget nih.. dea mau liat bunda gak makan?”
“argh, iya udah, bunda
mau bakso di mana? Ayo dea antar!”
Seketika
itu kulihat raut wajah bunda yang berubah. Jantung ku berdegup kencang, takut
bunda terluka karena ucapanku barusan. Dari dalam ruangan bertembok putih
dengan sofa peach itu aku dan bunda berjalan keluar menuju parking area di depan gedung itu. Bunda masih tetap pada
ekspresinya yang murung, dan kami berjalan dalam kediaman yang benar-benar
menghujam hatiku. Rasa bersalah tak henti menghantuiku hingga tiba di parking area.
“bunda jadi pingin beli
bakso? Dea mau antar kok bunda”
“ndak jadi, kita pulang
aja de”
“beneran bun?”
“Iya dea, kita pulang
sekarang”
***
Malam
itu hujan deras menghujam bumi tanpa ampun. Gemuruh guntur dan kilat menggetarkan
kaca-kaca itu. Aku masih di sini, sebuah ruang yang berbau obat dan
menyebalkan. Di hadapanku, tubuh itu masih terbaring lemah seolah tiada daya
lagi padanya. Air mataku kemudian mulai menetes, melihat lemah tubuh itu
membuatnya mengalir makin deras.
Makin
lama air mataku makin deras mengalir, tubuhku pun mulai terguncang oleh isak
tangisku. Bersama dengan lantun tahlil yang tak putus-putusnya kuucap di
telinganya, otakku bagai mesin waktu yang menyeretku kembali di waktu itu.
waktu di mana sosok yang terbaring tanpa daya di hadapanku saat ini meminta
suatu hal sederhana, yang kemudian tak dapat kupenuhi. Waktu di mana aku
benar-benar membuat luka pada hatinya, yang kemudian aku tak sempat benar-benar
meminta maaf padanya.
***
Bunyi
gesekan antara pintu dengan ubin tanda sang pintu tengah dibuka membuyarkan
lamunanku. Spontan kutolehkan wajahku ke arah pintu, aku tak ingin ada orang
yang tahu jika saat ini aku tengah menangis. Segera kuusap air mataku dengan
ujung jilbab yang sedari pagi tadi aku gunakan. Tiga sosok yang kemudian nampak
tak asing lagi dalam hidupku, om dan kedua tanteku. mereka menghampiriku, ikut
duduk bersama ku di sisi kasur itu. tanpa banyak bertanya ini itu, lantun
tahlil segera keluar dari mulut mereka.
Tak
lama setelah kedatangan om dan tanteku, aku tertidur dengan kepalaku yang
kuletakkan di sisi bed itu. sentuhan halus di pundakku membuatku terkaget
hingga kemudian aku terbangun.
“dea bobok aja di
bawah, biar bisa rebahan. Daripada badan dea jadi gak enak besok” kata orang
yang menyentuh bahuku, dan kemudian ku tahu dia tanteku.
“iya tante, sebentar
lagi. Dea masih pingin sama bunda, nemenin bunda” kataku
“tante tau de, kamu
pengen jagain bundamu. Tapi kamu juga harus jaga kondisi tubuhmu, udah tidur
dulu sana”
“Tapi tante, yang
jagain bunda siapa?”
“kamu itu lo aneh de,
di sini kan banyak orang. Ada om, tante, mbah semuanya bisa kok dek jagain
bundamu”
“emmm.. yaudah tante,
dea tidur dulu. Oya, ayah di mana tante? Dea gak liat dari tadi maghrib”
“ayahmu di luar dek, di
ruang tunggu sama om kamu”
“oh, yaudah tante dea
tidur dulu ya”
***
“assalamu’alaikum” kata
bunda sambil membuka pintu rumah kami.
Tak
biasanya bunda begini, hanya salam dan kemudian diam. Tiada basa-basi yang
biasanya dilakukan bunda tiap pulang dari klinik bersamaku. Bunda langsung
menuju kamarnya, dan langkahku terhenti satu meter di depan pintu kamar bunda.
Kali ini aku benar-benar merasa sudah sangat jahat menyakiti hatinya. Aku ingin
menemuinya dan meminta maaf padanya, tapi aku takut. Kemudian, langkahku
berbalik dan bergegas masuk dalam kamarku.
Tak
lama aku berada dalam kamar, namaku dipanggil-panggil oleh suara yang tak asing
bagiku. Suara khas nenek ku yang kemudian memaksaku untuk keluar kamar dan
segera menemuinya.
“deaaaaaaaaaa.. bundamu
ini kamu apa kan to nak, kok sampai nangis begini?”
“iyaaa mbahhh, dea
kesana.”
Hatiku
benar-benar kacau oleh kata-kata mbahku itu, ya Allah bunda menangis dan itu
karena aku. Ya Allah, aku benar-benar menyesali perbuatanku di klinik tadi. Aku
benar-benar salah pada bunda.
“bundamu i Cuma pingin
bakso lho nak, kamu itu kenapa to gak mau mbeliin buat bundamu?”
“dea bukan gak mau
mbah, tadi emang dea keberatan tapi akhirnya dea tawarin lagi sama bunda. Tapi
kata bunda pilih pulang aja”
Beberapa
detik itu menyiksaku dengan hening yang sangat. Kami bertiga hanya terdiam, saling
melirik, dan sibuk dalam pikiran masing-masing hingga suara bunda memecah
keheningan yang lama-lama membunuhku.
“bunda gak papa dea,
bunda minta maaf yaa. Bunda itu Cuma pingin dea ngerti kondisi bunda, yah siapa
tau itu permintaan terakhir dari bunda. Yaudahlah de, gak usah sedih bunda
ngerti kok”
***
Tidurku
gelisah, aku benar-benar merasa tidak nyaman dengan terpejamnya mataku. mimpi
itu, kata-kata itu, seolah nyata tergambar kembali dalam memoriku. Kemudian,
kata-kata bunda menjadi penutup mimpiku
setelah aku terbangun dan mendapati orang-orang yang berwajah bingung dan
panik. Ada apa ini?
Tanpa
ku sadari, air mataku kembali meleleh. Aku benci suasana ini, tiada satu pun
yang memperhatikanku. Semuanya bingung dan aku sama sekali tak tahu apa yang
terjadi. Semua orang berkumpul di sisi-sisi bed tempat semula bunda berbaring. Ketika
aku belum benar-benar menyadari apa yang terjadi, subuh menjelang dengan anggun
dan indahnya panggilan untuk menghadap pada-Nya.
Isak tangis
kemudian mulai muncul dari mulutku, memecah perhatian orang-orang itu. kemudian
semua perhatian tertuju pada tangisku yang makin lama makin kencang. Tatapan-tatapan
mereka padaku, memberi satu titik kesimpulan padaku tentang apa yang terjadi.
Dan di akhir semua itu, tangis benar-benar tak dapat lagi dicegah.
***
Pagi itu
duniaku seakan hilang, cahaya seakan sirna dari duniaku. Deras air mata seolah
menjadi lanjutan atas hujan semalam. Semuanya seolah terenggut dari ku, keceriaan,
kebahagiaan, kegembiraan, tawa, dan senyum seolah benar-benar pergi dari
duniaku, kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar