Jumat, 03 Januari 2014

Tak Sekadar Impian Kosong

Oleh : Nur Hayati


 Rintik hujan di pagi ini membasahi tubuhku yang sedang berjalan menuju sekolah. Hari ini adalah hari yang aku tunggu, hari di mana rapor dan pengumuman kelulusan dibagikan. Di sekolah sudah banyak teman-teman yang ditemani orang tua mereka, senyum mereka pun mengembang menunggu pengumuman kelulusan. Aku melihat Adit dan keluarganya turun dari mobil.
“Adit, mau ke Australia atau Amerika nih?” Papa Adit dengan bangga bertanya kepada putranya.
“Adit mau berlibur ke Australia, tapi kuliahnya di Indonesia aja Pa....” ucap Adit datar.
Indahnya pemandangan Adit dan teman-temanku yang bisa merencanakan masa depan mereka seperti keinginan mereka, termasuk memilih perguruan tinggi. Sedangkan aku, aku hanya percaya pada mimpi dan bekerja keras untuk mendapatkan mimpi itu. Tapi inilah hidup yang dulu diajarkan Ibu untuk senantiasa bersyukur dan menjaga pemberian Allah kepada kita.
“Ratna, kamu sendiri? Di mana Nenekmu?” sapa Bu Ratih, guru kimiaku.
“Iya bu, Nenek sakit dan Ayah udah lama nggak pulang....”
“Yang sabar ya sayang, saya tahu kamu anak yang hebat.” Bu Ratih pun berlalu setelah menepuk bahuku.
Ibu Ratih memang sosok guru yang luar biasa, beliau tidak hanya mengajari kami tentang molekul yang dianggap sebagian siswa sesuatu yang membosankan dan mengerikan, tapi beliau juga menjadi teman untuk muridnya, sehingga beliau tahu betul bagaimana kehidupan pribadi siswa-siswinya. Termasuk kisah keluargaku yang antah berantah. Sejak kepergian Ibu karena sakit kanker payudara, aku tinggal bersama Nenek dan Arya, adik laki-lakiku, yang kini duduk di bangku kelas 8 SMP. Sedangkan Ayah,  sebelum Ibu meninggal, beliau memang bukan sosok Ayah yang menyayangi keluarganya. Ayah adalah seorang satpam yang bekerja di luar kota, sehingga jarang sekali Ayah pulang.
Kehidupan keluargaku pun pas-pasan, semenjak aku SMP sebelum ibu meninggal, aku sudah mencari biaya sekolahku sendiri. Pekerjaan apapun aku kerjakan untuk menyambung pendidikanku, membantu Ibu menjadi buruh cuci. Tiap pulang sekolah, aku harus menjajakan koran bersama Arya. Aku sangat menyayangi Ibu, karena beliau sosok pekerja keras yang tak pernah mengeluh dengan kehidupannya. Satu hal lagi yang tak bisa ku pahami sampai saat ini, kenapa Ibu begitu menghormati dan memuji kehebatan Ayah? Sampai saat ini aku belum bisa mengerti itu.
“Kring, kring, kring.... Bagi siswa-siswi yang akan mengambil pengumuman kelulusan bisa segera berkumpul di aula untuk mendapatkan pengarahan dari kepala sekolah.” suara sound system memecahkan lamunanku. Aku pun segera berjalan menuju aula.
Setelah masuk aula, ternyata aula sudah dipenuhi teman-temanku. Aku mencoba mencari teman-teman satu kelas, hingga mataku tertuju pada seseorang yang duduk di kursi nomor dua dari podium. Aku lihat Fajar melambaikan tangan kepadaku. Aku tahu maksudnya, dia ingin aku duduk di sampingnya, ada satu kursi kosong di sana. Itulah kebiasaan Fajar sejak aku mengenalnya. Setahuku dia adalah anak yang baik hati, meskipun dia terkenal sebagai anak yang bandel, hampir semua pelanggaran sekolah pernah ia lakukan mulai dari terlambat sekolah, bolos sekolah, merokok, bahkan kabarnya dia juga minum-minuman keras. Seperti apapun kejelekan Fajar, bagiku dia adalah sosok teman yang banyak membantuku. Bahkan Fajar sudah mencarikan pekerjaan untukku, jika aku tidak diterima di perguruan tinggi.
“Hei... sini Na, dari tadi aku nunggu kamu lho.”
‘Na’, itu panggilan Fajar untukku, tapi teman-teman biasa memanggilku ‘Rat’. Aku pun memanggil dia ‘Fa’, padahal teman-teman bisa memanggilnya ‘Jar’.
“Hei... tumben kamu udah dateng, biasanya kan langganan telat.” Ejekku padanya.
“Iya dong Na, hehehe.” Dia tertawa nggak jelas.
“Eh Na, kamu jadi ambil pekerjaan yang aku tawarkan nggak nih?”
“Kemungkinan iya Fa, aku kan cuma daftar SNMPTN undangan, kalau tidak dapet paling juga kerja kan, kalau dapet pun aku juga tetep kerja kok.” Aku pun tersenyum melihat tatapan Fajar yang indah.
“Ya, semoga dapet Na, kamu Cuma ambil 1 jurusan ya dari 4 jurusan yang boleh dipilih, kimia ya Na?” Tanya Fajar.
“Iya Fa, kamu kan tahu juga gimana kemampuanku, cuma kimia yang selalu membuatku percaya diri.”  Aku pun sedikit tersenyum.
“Optimis aja Na, lagian siapa sih yang nggak tahu the best nya Chemistry di kelas kita? Kamu kan, yah paling saingan utama kamu cuma Adit.”
“Itu dia yang membuatku pesimis Fa.”
Pembicaraan kami pun sejenak terpotong karena pertemuan akan segera dimulai. Kepala sekolah memberikan nasihatnya kepada kami, tapi hanya satu acara yang paling ditunggu-tunggu yaitu pengumuman nilai tertinggi tiap mata pelajaran. Yah, aku kan tahu bagaimana prestasiku di sekolah standar saja kok, jadi aku tidak terlalu banyak berharap jadi juara umum.
“Nilai kimia yang tertinggi nilaiku apa nilai Adit ya.” Ucapku dalam hati.
Tak lama kemudian disebutkan dua orang dengan nilai kimia tertinggi. Hal yang membuatku cukup kecewa ternyata nilai tertinggi adalah nilaiku dan Adit, ya nilaiku sama dengannya 9,75.
Seusai pertemuan, Aku bergegas menuju kelas, tanpa menghiraukan Fajar.
“Ratna!” suara Adit memanggilku.
“Eh kamu Dit, ada apa?” Sebenarnya aku males banget ketemu orang ini.
“Selamat ya Rat, nilaimu tertinggi juga.” Ucap Adit datar.
“Makasih Dit.” Aku pun langsung berlalu. Tumben Adit nyapa aku duluan, dia kan anaknya pendiem dan super cuek. Entahlah, aku pun melanjutkan langkahku.
Adit, itulah nama cowok yang ku kenal ambisius dengan apa yang ia inginkan. Sebenarnya Adit adalah teman yang baik dan seorang yang mempunyai mimpi-mimpi besar, sama seperti ku sejak kecil. Tapi semakin aku mengenalnya, aku merasa kurang nyaman dengan sikap-sikapnya. Sikap semangat yang berlebihan justru terkesan ambisius di mataku, tidak cuma Adit kok yang punya mimpi. Aku juga punya mimpi-mimpi hebat, tapi aku tidak seberuntung dia yang mempunyai segalanya, keluarga kaya, dan orang tua yang sangat menyayanginya.
Aku mengenal Adit karena kita sering ikut lomba bareng, setiap ada kompetisi atau olimpiade kimia pasti aku dan Adit yang menjadi tim inti. Aku mengenal Adit sebagai sosok yang pendiam, pandai, dan satu hal lagi Adit adalah anak paling cuek yang pernah ku kenal. Meskipun demikian aku berteman baik dengan dia, tapi semenjak aku tahu Adit membenci Fajar tanpa sebab, aku jadi tidak suka dengannya, terlebih beberapa guru sering membandingkan ku dengannya semakin membuatku tidak menyukai makhluk bernama Adit.
Sore ini langit cukup cerah, tapi tak secerah kesehatan Nenek. Melihat kondisi Nenek yang belum juga membaik, aku dan Arya yang seharusnya bekerja sore ini, mengurungkan niat kami karena kabarnya Ayah akan pulang. Tak lama setelah aku mengambilkan makan Nenek ternyata Ayah benar-benar pulang sore ini, aku mencoba menyambut baik kedatangan Ayah. Setelah sedikit banyak Ayah berbicara dengan Nenek, Ayah memanggil aku dan Arya ke ruang tamu, dengan saling bertatapan kami pun duduk di kursi tepatnya di hadapan Ayah.
“Bagaimana kabar putra-putri Ayah?” Ayah membuka pembicaraan.
“Biasa Yah.” Jawab Arya datar, aku tahu Arya tidak begitu suka dengan Ayah.
“Sekolahmu bagaimana Arya? ”
“Biasa saja Yah.”
Beginilah kebiasaan Ayah ketika pulang, dan selalu begitu pula jawaban Arya
“Kelulusanmu gimana Ratna? Lulus kan?” Ayah mencoba bertanya padaku
“Iya Yah.”
“Apa kau ingin kuliah Nak?” Ayah bertanya padaku
“Mau Yah, tapi uang dari mana? Gaji Ayah saja tak seberapa, buat hidup sehari-hari saja masih kurang Yah, apalagi Nenek sakit-sakitan.”
“Ayah akan mengusahakan kau untuk tetap kuliah Nak, Ayah memang tidak punya banyak uang tapi bukankah Ibumu dulu selalu mengajarimu tentang kerja keras. Kau harus tetap kuliah Nak.”
“Nggak tau Yah,  besok mungkin aku sudah bekerja di tempat Fajar. Di sana gajinya besar Yah, kalau aku nggak diterima SNMPTN Undangan aku bisa punya banyak uang untuk berobat Nenek.”
“Kamu yakin dengan pekerjaanmu Nak, gaji banyak tidak menjamin kebahagiaan Ratna.” Kalimat ini yang tidak kusukai dari Ayah, selalu menganggap uang bukan segalanya.
“Tapi Yah, Ayah bicara seperti itu karena kekecewaan Ayah pada diri Ayah sendirikan? Ayah nggak bisa mencukupi kehidupan keluarga Ayah, bahkan untuk sekolah aja sejak kecil aku dan Arya harus membanting tulang sendiri Yah.” Nada bicaraku sedikit meninggi karena aku ingin Ayah tau, betapa kami kurang diperhatikan olehnya.
“Bukankah Ayah dan Ibu yang mengajarkan pada kalian tentang kerja keras, bahkan sejak kecil? Ternyata kalian belum juga menemukan jawaban tentang kasih sayang yang sebenarnya.” Ayah lantas berlalu meninggalkan kami, tidak seperti biasanya, Ayah biasa menutup pembicaraan dengan kalimat: “Suatu saat, kalian akan menemukan jawabannya.”
Jawaban apa yang sebenarnya ingin Ayah sampaikan, sampai saat ini aku belum pernah tau apa yang Ayah lakukan untuk membahagiakan keluarga ini. Aku memang tumbuh sebagai sosok yang ceria, tapi ketika di rumah rasanya aku enggan sedikitpun tersenyum. Kalau bukan karena Nenek yang menyayangi ku pasti aku sudah lama pergi dari rumah ini.
Besok sore adalah pengumuman SNMPTN Undangan meskipun aku yakin dengan mimpiku untuk diterima di UGM, tapi besok pagi aku harus mulai bekerja di tempat yang ditawarkan Fajar, nggak ada pilihan lain, Fajar sudah berbaik hati membantuku, apalagi pengumuman SNMPTN belum jelas.
Di teras aku termenung memandangi indahnya langit malam ini, langit yang begitu pekat bertabur bintang menjadikanku nampak begitu syahdu, perasaanku pun sedikit terhibur malam ini. Tidak lama aku terdiam dalam bisu, kedatangan Fajar memecahkan lamunku. Ada apa malam-malam seperti ini Fajar datang ke rumah?
“Hei Na, syukurlah kau belum tidur.” Senyum Fajar mengembang begitu indah.
“Hei Fa, ada apa?”
“Aku tahu Nenekmu sedang sakit, aku bawakan sedikit makanan buat keluarga.”
“Yang ini apa Fa?” Aku melihat satu kantong plastik yang berisi kain-kain halus
“Itu baju Na, sebagai ucapan selamatku karena prestasimu, sekaligus baju itu bisa kamu pakai buat kerja.”
“Makasih ya Fa, maaf aku selalu merepotkanmu.”
“Kamu nggak ngrepotin aku Na, ya udah aku balik dulu ya, besok pagi aku jemput kamu ya, jangan lupa pake baju ini.” Fajar pun langsung pulang, aku tersenyum mendengar kalimat Fajar, dia memang paling bisa menghiburku.
Pagi ini benar-benar cerah, bahkan lebih cerah dari biasanya. Pagi ini aku lantas bersiap untuk berangkat kerja. Pagi-pagi sekali Fajar sudah menjemputku.
Setibanya kami di tempatku bekerja aku bertemu dengan wanita paruh baya yang sangat cantik dan ramah, setelah wawancara singkat dengan tawaran gaji yang sangat tinggi tanpa membaca surat kontraknya aku menandatangani surat yang diberikan ibu Frans, nama wanita cantik tadi ibu Fransiska.
Setelah menandatangani kontrak aku pun bersama Fajar bergegas pulang, karena waktu itu sudah sore aku dan Fajar berhenti di warnet dekat rumahku. Setelah aku log in di halaman SNMPTN Undangan hal sangat mengejutkanku

“Selamat Ratna Fajriana Anda Lolos Seleksi SNMPTN Undangan”
Kimia Universitas Gajah Mada
Tulisan itu benar-benar mengejutkanku, aku langsung refleks sujud syukur atas hasil seleksi, Fajar pun terlihat gembira melihat tulisan di monitor.
“Selamat ya Na, masalah pekerjaan itu kan kerjanya malam hari aku rasa nggak nganggu kuliahmu, apalagi kamu pinter pasti kamu bisa mengatur semua.”
“Makasih untuk semua Fa, aku nggak tahu harus membayar dengan apa semua kebaikanmu.” Tak ku sadari mataku berkaca-kaca.
“ Melihat kamu tersenyum, itu sudah cukup untuk membayar semua Na.” Mata Fajar benar-benar menatapku. Selama ini Fajar bak malaikat yang senantiasa di sisiku di kala susah maupun senang.
“Terima kasih Tuhan kau kirimkan malaikat untuk ku.” Ucapku dalam hati.
Sungguh betapa indah hidupku hari ini, dengan hati yang berbunga-bunga aku pun bergegas pulang. Sesampainya di rumah hari sudah mulai gelap, aku pun menceritakan semua kepada Ayah, tentang semua kebahagiaan yang kudapatkan hari ini. Tapi sambutan Ayah malam ini tidak cukup memuaskan hatiku.
“Syukurlah, tapi ingat kebahagiaan dunia hanya sebentar Nak, jangan kau berlarut-larut. Kau juga tahu kan kalau manusia hidup untuk berjuang. ”
“Iya Yah.” jawab ku datar dan tertunduk, kalimat Ayah menggambarkan nggak ada sedikit pun kebanggaan padaku.
“Ya sudah,  malam ini Ayah harus segera pergi, ada kasus penting kepolisian yang membutuhkan bantuan Ayah, jaga Nenek baik-baik.”
“Iya Yah.” Aku pun masih termenung melihat sikap Ayah.
Malam ini terasa begitu cepat, tak lama setelah aku merebahkan tubuhku, mentari sudah tersenyum di ufuk timur. Aku pun dengan malas melangkahkan kakiku ke kamar Nenek, kulihat Nenek masih terlelap dalam mimpinya. Ku dapati kamar Ayah yang masih kosong, artinya semalam Ayah tidak pulang. Pagi ini benar-benar sepi, tapi tiba-tiba terdengar kegaduhan di depan rumahku, ternyata segerombolan polisi datang ke rumahku, dengan borgol dan pistolnya. Tanpa permisi mereka langsung masuk.
“Selamat pagi.” Ucap salah satu polisi dengan hormat
“Pagi Pak.” Jawabku dengan ragu dan tak mengerti
“Saudari Ratna Fajriani?”
“Benar Pak, ada apa Pak?” Aku belum mengerti apa yang dilakukan polisi ini pada ku
“Ikut kami ke Kantor Polisi.” Salah satu polisi memasang borgol di tanganku
“Lho Pak, salah apa saya?” Tanyaku dan mencoba melawan.
“ Sudah ikut kami, Nanti kami jelaskan di kantor.” Aku masih belum juga mengerti
Sesampainya di kantor polisi di sana ada Ayah yang sedang di depan komputer, aku tahu Ayah memang biasa bekerja membantu polisi. Aku juga melihat bu Frans, Fajar, dan beberapa karyawan bu Frans yang aku temui kemarin. Aku melihat wajah Ayah yang terlihat biasa saja melihat anaknya ditanggap polisi.
“Apakah orang yang selama ini kuanggap Ayah benar-benar Ayahku?” Tanyaku dalam hati karena Ayah yang begitu cuek denganku.
Setelah diinterogasi oleh beberapa polisi, aku benar-benar terkejut mendengarkan penjelasan polisi, mereka menganggapku PSK yang bekerja di tempat bu Frans. Ya Tuhan sebenarnya ada apa dengan ini semua. Sungguh membelalakkan mataku, Fajar yang kuanggap malaikat penolong dalam hidupku ternyata dalang di balik semua ini, dia ingin memperkerjakan ku sebagai pelacur.
Polisi mempunyai bukti jelas, yakni surat kontrak aku bekerja dengan bu Frans. Meskipun aku sudah menjelaskan sejelas-jelasnya tapi polisi benar-benar tak percaya. Bagaimana ini, aku tak hanya memikirkan penangkapanku, hari ini adalah regristasi online terakhir di UGM. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana nasibku saat ini. Hingga kulihat Ayah yang mendekati kedua polisi yang menginterogasiku. Ayah membawa semua bukti bahwa aku tak bersalah. Aku tak tahu dari mana Ayah mendapatkan foto-foto ini semua. Didukung dengan pemeriksaan dari kepolisian dan dokter aku terbukti tidak bersalah.
Betapa aku merasa bersalah pada Ayah, betapa Ayah sangat perhatian padaku, lebih dari apa yang aku pahami. Ternyata Ayah memberiku pelajaran lewat semua ini. Aku pun segera memeluk Ayah erat-erat. Aku sudah tidak peduli lagi bagaimana nasib regristasi-ku di UGM. Aku dibebaskan dari Kantor Polisi sekitar pukul 02.00, sedangkan regristasi terakhir jam 24.00, benar-benar terlambat. Meskipun malam ini aku kecewa, tapi betapa aku bahagia terselamatkan dari kemaksiatan yang hebat terlebih aku sudah mendapatkan jawaban yang selama ini ingin Ayah sampaikan padaku.
Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 sesampainya di rumah pelukan Nenek dan Arya menyambut kepulanganku. Setelah panjang lebar bercerita tentang semua yang ku alami, aku hanya duduk termenung meratapi nasib, pekerjaan nggak dapat, hampir jadi pelacur, dan sekarang aku kehilangan kesempatan untuk kuliah.
Pagi memang selalu Indah, begitu pula pagi ini semua doaku pada Tuhan ternyata terkabul, mataku kembali terbelalak setelah mendengar cerita Arya, Arya menceritakan semua yang dilakukan Adit untukku. Ternyata Adit yang menyelesaikan semua proses regristasi-ku, Adit telah mencari tahu semua data diriku dari Arya. Meskipun dia sendiri tidak diterima SNMPTN Undangan, dia yang selama ini aku anggap sainganku justru menyelamatkan kesempatan indahku, terima kasih Tuhan.
Sungguh banyak sekali pelajaran yang aku dapat dari sepotong perjalanan hidupku, Ratna yang sekarang adalah Ratna yang lebih dewasa, aku benar-benar menyayangi keluargaku, terutama Ayah. Bodohnya aku baru menyadari mempunyai Ayah sehebat beliau. 
Betapa beruntungnya aku saat ini bisa belajar di Universitas impianku, bersama Adit yang diterima juga di UGM lewat SNMPTN tulis, Adit di Fakultas Farmasi dan Aku di Fakultas MIPA, kampus kami berdekatan kami bersama-sama mengukir mimpi-mimpi indah di sini, sama-sama mempunyai komitmen untuk saling menguatkan. Aku dan Adit percaya kelak Tuhan akan menggenggam mimpi-mimpi hambanya selama ada doa dan usaha. Selama jantung ini masih berdetak dan darah  masih mengalir selama itu pula mimpi-mimpi harus diperjuangkan, karena mimpi-mimpilah yang mampu membuat kami bertahan sejauh ini, dan menguatkan langkah kami.
Terima kasih Tuhan semua pemberianmu adalah sumber kebahagiaan, meski terkadang terasa menyedihkan, tapi aku percaya semua takdirmu adalah yang terbaik untukku. (Nur Hayati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar