Rintik hujan di pagi ini
membasahi tubuhku yang sedang berjalan menuju sekolah. Hari ini adalah hari
yang aku tunggu, hari di mana rapor dan pengumuman kelulusan dibagikan. Di sekolah
sudah banyak teman-teman yang ditemani orang tua mereka, senyum mereka pun
mengembang menunggu pengumuman kelulusan. Aku melihat Adit dan keluarganya
turun dari mobil.
“Adit, mau ke Australia
atau Amerika nih?” Papa Adit dengan bangga bertanya kepada putranya.
“Adit mau berlibur ke Australia,
tapi kuliahnya di Indonesia aja Pa....” ucap Adit datar.
Indahnya pemandangan
Adit dan teman-temanku yang bisa merencanakan masa depan mereka seperti
keinginan mereka, termasuk memilih perguruan tinggi. Sedangkan aku, aku hanya
percaya pada mimpi dan bekerja keras untuk mendapatkan mimpi itu. Tapi inilah
hidup yang dulu diajarkan Ibu untuk senantiasa bersyukur dan menjaga pemberian
Allah kepada kita.
“Ratna, kamu sendiri? Di
mana Nenekmu?” sapa Bu Ratih, guru kimiaku.
“Iya bu, Nenek sakit dan
Ayah udah lama nggak pulang....”
“Yang sabar ya sayang,
saya tahu kamu anak yang hebat.” Bu Ratih pun berlalu setelah menepuk bahuku.
Ibu Ratih memang sosok
guru yang luar biasa, beliau tidak hanya mengajari kami tentang molekul yang
dianggap sebagian siswa sesuatu yang membosankan dan mengerikan, tapi beliau
juga menjadi teman untuk muridnya, sehingga beliau tahu betul bagaimana
kehidupan pribadi siswa-siswinya. Termasuk kisah keluargaku yang antah
berantah. Sejak kepergian Ibu karena sakit kanker payudara, aku tinggal bersama
Nenek dan Arya, adik laki-lakiku, yang kini duduk di bangku kelas 8 SMP.
Sedangkan Ayah, sebelum Ibu meninggal, beliau
memang bukan sosok Ayah yang menyayangi keluarganya. Ayah adalah seorang satpam
yang bekerja di luar kota, sehingga jarang sekali Ayah pulang.
Kehidupan keluargaku
pun pas-pasan, semenjak aku SMP sebelum ibu meninggal, aku sudah mencari biaya
sekolahku sendiri. Pekerjaan apapun aku kerjakan untuk menyambung pendidikanku,
membantu Ibu menjadi buruh cuci. Tiap pulang sekolah, aku harus menjajakan
koran bersama Arya. Aku sangat menyayangi Ibu, karena beliau sosok pekerja
keras yang tak pernah mengeluh dengan kehidupannya. Satu hal lagi yang tak bisa
ku pahami sampai saat ini, kenapa Ibu begitu menghormati dan memuji kehebatan Ayah?
Sampai saat ini aku belum bisa mengerti itu.
“Kring, kring, kring....
Bagi siswa-siswi yang akan mengambil pengumuman kelulusan bisa segera berkumpul
di aula untuk mendapatkan pengarahan dari kepala sekolah.” suara sound system memecahkan lamunanku. Aku
pun segera berjalan menuju aula.
Setelah masuk aula,
ternyata aula sudah dipenuhi teman-temanku. Aku mencoba mencari teman-teman satu
kelas, hingga mataku tertuju pada seseorang yang duduk di kursi nomor dua dari
podium. Aku lihat Fajar melambaikan tangan kepadaku. Aku tahu maksudnya, dia
ingin aku duduk di sampingnya, ada satu kursi kosong di sana. Itulah kebiasaan
Fajar sejak aku mengenalnya. Setahuku dia adalah anak yang baik hati, meskipun
dia terkenal sebagai anak yang bandel, hampir semua pelanggaran sekolah pernah
ia lakukan mulai dari terlambat sekolah, bolos sekolah, merokok, bahkan
kabarnya dia juga minum-minuman keras. Seperti apapun kejelekan Fajar, bagiku
dia adalah sosok teman yang banyak membantuku. Bahkan Fajar sudah mencarikan
pekerjaan untukku, jika aku tidak diterima di perguruan tinggi.
“Hei... sini Na, dari
tadi aku nunggu kamu lho.”
‘Na’, itu panggilan Fajar
untukku, tapi teman-teman biasa memanggilku ‘Rat’. Aku pun memanggil dia ‘Fa’,
padahal teman-teman bisa memanggilnya ‘Jar’.
“Hei... tumben kamu
udah dateng, biasanya kan langganan telat.” Ejekku padanya.
“Iya dong Na, hehehe.”
Dia tertawa nggak jelas.
“Eh Na, kamu jadi ambil
pekerjaan yang aku tawarkan nggak nih?”
“Kemungkinan iya Fa, aku
kan cuma daftar SNMPTN undangan, kalau tidak dapet paling juga kerja kan, kalau
dapet pun aku juga tetep kerja kok.” Aku pun tersenyum melihat tatapan Fajar
yang indah.
“Ya, semoga dapet Na, kamu
Cuma ambil 1 jurusan ya dari 4 jurusan yang boleh dipilih, kimia ya Na?” Tanya
Fajar.
“Iya Fa, kamu kan tahu
juga gimana kemampuanku, cuma kimia yang selalu membuatku percaya diri.” Aku pun sedikit tersenyum.
“Optimis aja Na, lagian
siapa sih yang nggak tahu the best
nya Chemistry di kelas kita? Kamu
kan, yah paling saingan utama kamu cuma Adit.”
“Itu dia yang membuatku
pesimis Fa.”
Pembicaraan kami pun
sejenak terpotong karena pertemuan akan segera dimulai. Kepala sekolah
memberikan nasihatnya kepada kami, tapi hanya satu acara yang paling
ditunggu-tunggu yaitu pengumuman nilai tertinggi tiap mata pelajaran. Yah, aku
kan tahu bagaimana prestasiku di sekolah standar saja kok, jadi aku tidak
terlalu banyak berharap jadi juara umum.
“Nilai kimia yang tertinggi
nilaiku apa nilai Adit ya.” Ucapku dalam hati.
Tak lama kemudian
disebutkan dua orang dengan nilai kimia tertinggi. Hal yang membuatku cukup
kecewa ternyata nilai tertinggi adalah nilaiku dan Adit, ya nilaiku sama
dengannya 9,75.
Seusai pertemuan, Aku bergegas
menuju kelas, tanpa menghiraukan Fajar.
“Ratna!” suara Adit
memanggilku.
“Eh kamu Dit, ada apa?”
Sebenarnya aku males banget ketemu orang ini.
“Selamat ya Rat,
nilaimu tertinggi juga.” Ucap Adit datar.
“Makasih Dit.” Aku pun
langsung berlalu. Tumben Adit nyapa aku duluan, dia kan anaknya pendiem dan
super cuek. Entahlah, aku pun melanjutkan langkahku.
Adit, itulah nama cowok
yang ku kenal ambisius dengan apa yang ia inginkan. Sebenarnya Adit adalah teman
yang baik dan seorang yang mempunyai mimpi-mimpi besar, sama seperti ku sejak
kecil. Tapi semakin aku mengenalnya, aku merasa kurang nyaman dengan
sikap-sikapnya. Sikap semangat yang berlebihan justru terkesan ambisius di mataku,
tidak cuma Adit kok yang punya mimpi. Aku juga punya mimpi-mimpi hebat, tapi aku
tidak seberuntung dia yang mempunyai segalanya, keluarga kaya, dan orang tua
yang sangat menyayanginya.
Aku mengenal Adit
karena kita sering ikut lomba bareng, setiap ada kompetisi atau olimpiade kimia
pasti aku dan Adit yang menjadi tim inti. Aku mengenal Adit sebagai sosok yang
pendiam, pandai, dan satu hal lagi Adit adalah anak paling cuek yang pernah ku kenal.
Meskipun demikian aku berteman baik dengan dia, tapi semenjak aku tahu Adit membenci
Fajar tanpa sebab, aku jadi tidak suka dengannya, terlebih beberapa guru sering
membandingkan ku dengannya semakin membuatku tidak menyukai makhluk bernama
Adit.
Sore ini langit cukup
cerah, tapi tak secerah kesehatan Nenek. Melihat kondisi Nenek yang belum juga
membaik, aku dan Arya yang seharusnya bekerja sore ini, mengurungkan niat kami
karena kabarnya Ayah akan pulang. Tak lama setelah aku mengambilkan makan Nenek
ternyata Ayah benar-benar pulang sore ini, aku mencoba menyambut baik
kedatangan Ayah. Setelah sedikit banyak Ayah berbicara dengan Nenek, Ayah
memanggil aku dan Arya ke ruang tamu, dengan saling bertatapan kami pun duduk
di kursi tepatnya di hadapan Ayah.
“Bagaimana kabar putra-putri
Ayah?” Ayah membuka pembicaraan.
“Biasa Yah.” Jawab Arya
datar, aku tahu Arya tidak begitu suka dengan Ayah.
“Sekolahmu bagaimana
Arya? ”
“Biasa saja Yah.”
Beginilah kebiasaan
Ayah ketika pulang, dan selalu begitu pula jawaban Arya
“Kelulusanmu gimana
Ratna? Lulus kan?” Ayah mencoba bertanya padaku
“Iya Yah.”
“Apa kau ingin kuliah
Nak?” Ayah bertanya padaku
“Mau Yah, tapi uang
dari mana? Gaji Ayah saja tak seberapa, buat hidup sehari-hari saja masih
kurang Yah, apalagi Nenek sakit-sakitan.”
“Ayah akan mengusahakan
kau untuk tetap kuliah Nak, Ayah memang tidak punya banyak uang tapi bukankah
Ibumu dulu selalu mengajarimu tentang kerja keras. Kau harus tetap kuliah Nak.”
“Nggak tau Yah, besok mungkin aku sudah bekerja di tempat
Fajar. Di sana gajinya besar Yah, kalau aku nggak diterima SNMPTN Undangan aku
bisa punya banyak uang untuk berobat Nenek.”
“Kamu yakin dengan
pekerjaanmu Nak, gaji banyak tidak menjamin kebahagiaan Ratna.” Kalimat ini
yang tidak kusukai dari Ayah, selalu menganggap uang bukan segalanya.
“Tapi Yah, Ayah bicara
seperti itu karena kekecewaan Ayah pada diri Ayah sendirikan? Ayah nggak bisa
mencukupi kehidupan keluarga Ayah, bahkan untuk sekolah aja sejak kecil aku dan
Arya harus membanting tulang sendiri Yah.” Nada bicaraku sedikit meninggi
karena aku ingin Ayah tau, betapa kami kurang diperhatikan olehnya.
“Bukankah Ayah dan Ibu
yang mengajarkan pada kalian tentang kerja keras, bahkan sejak kecil? Ternyata
kalian belum juga menemukan jawaban tentang kasih sayang yang sebenarnya.” Ayah
lantas berlalu meninggalkan kami, tidak seperti biasanya, Ayah biasa menutup
pembicaraan dengan kalimat: “Suatu saat, kalian akan menemukan jawabannya.”
Jawaban apa yang
sebenarnya ingin Ayah sampaikan, sampai saat ini aku belum pernah tau apa yang
Ayah lakukan untuk membahagiakan keluarga ini. Aku memang tumbuh sebagai sosok
yang ceria, tapi ketika di rumah rasanya aku enggan sedikitpun tersenyum. Kalau
bukan karena Nenek yang menyayangi ku pasti aku sudah lama pergi dari rumah
ini.
Besok sore adalah
pengumuman SNMPTN Undangan meskipun aku yakin dengan mimpiku untuk diterima di UGM,
tapi besok pagi aku harus mulai bekerja di tempat yang ditawarkan Fajar, nggak
ada pilihan lain, Fajar sudah berbaik hati membantuku, apalagi pengumuman
SNMPTN belum jelas.
Di teras aku termenung
memandangi indahnya langit malam ini, langit yang begitu pekat bertabur bintang
menjadikanku nampak begitu syahdu, perasaanku pun sedikit terhibur malam ini. Tidak
lama aku terdiam dalam bisu, kedatangan
Fajar memecahkan lamunku. Ada apa malam-malam seperti ini Fajar datang
ke rumah?
“Hei Na, syukurlah kau
belum tidur.” Senyum Fajar mengembang begitu indah.
“Hei Fa, ada apa?”
“Aku tahu Nenekmu
sedang sakit, aku bawakan sedikit makanan buat keluarga.”
“Yang ini apa Fa?” Aku
melihat satu kantong plastik yang berisi kain-kain halus
“Itu baju Na, sebagai
ucapan selamatku karena prestasimu, sekaligus baju itu bisa kamu pakai buat
kerja.”
“Makasih ya Fa, maaf aku
selalu merepotkanmu.”
“Kamu nggak ngrepotin aku
Na, ya udah aku balik dulu ya, besok pagi aku jemput kamu ya, jangan lupa pake
baju ini.” Fajar pun langsung pulang, aku tersenyum mendengar kalimat Fajar,
dia memang paling bisa menghiburku.
Pagi ini benar-benar
cerah, bahkan lebih cerah dari biasanya. Pagi ini aku lantas bersiap untuk
berangkat kerja. Pagi-pagi sekali Fajar sudah menjemputku.
Setibanya kami di
tempatku bekerja aku bertemu dengan wanita paruh baya yang sangat cantik dan
ramah, setelah wawancara singkat dengan tawaran gaji yang sangat tinggi tanpa
membaca surat kontraknya aku menandatangani surat yang diberikan ibu Frans,
nama wanita cantik tadi ibu Fransiska.
Setelah menandatangani kontrak aku pun
bersama Fajar bergegas pulang, karena waktu itu sudah sore aku dan Fajar
berhenti di warnet dekat rumahku. Setelah aku log in di halaman SNMPTN Undangan hal sangat mengejutkanku
“Selamat
Ratna Fajriana Anda Lolos Seleksi SNMPTN Undangan”
Kimia
Universitas Gajah Mada
Tulisan itu benar-benar
mengejutkanku, aku langsung refleks sujud syukur atas hasil seleksi, Fajar pun
terlihat gembira melihat tulisan di monitor.
“Selamat ya Na, masalah pekerjaan itu kan
kerjanya malam hari aku rasa nggak nganggu kuliahmu, apalagi kamu pinter pasti
kamu bisa mengatur semua.”
“Makasih untuk semua Fa, aku nggak tahu
harus membayar dengan apa semua kebaikanmu.” Tak ku sadari mataku berkaca-kaca.
“ Melihat kamu tersenyum, itu sudah cukup
untuk membayar semua Na.” Mata Fajar benar-benar menatapku. Selama ini Fajar
bak malaikat yang senantiasa di sisiku di kala susah maupun senang.
“Terima
kasih Tuhan kau kirimkan malaikat untuk ku.” Ucapku dalam
hati.
Sungguh betapa indah
hidupku hari ini, dengan hati yang berbunga-bunga aku pun bergegas pulang. Sesampainya
di rumah hari sudah mulai gelap, aku pun menceritakan semua kepada Ayah,
tentang semua kebahagiaan yang kudapatkan hari ini. Tapi sambutan Ayah malam
ini tidak cukup memuaskan hatiku.
“Syukurlah, tapi ingat kebahagiaan dunia
hanya sebentar Nak, jangan kau berlarut-larut. Kau juga tahu kan kalau manusia
hidup untuk berjuang. ”
“Iya Yah.” jawab ku datar dan tertunduk,
kalimat Ayah menggambarkan nggak ada sedikit pun kebanggaan padaku.
“Ya sudah, malam ini Ayah harus segera pergi, ada kasus
penting kepolisian yang membutuhkan bantuan Ayah, jaga Nenek baik-baik.”
“Iya Yah.” Aku pun masih termenung
melihat sikap Ayah.
Malam ini terasa begitu
cepat, tak lama setelah aku merebahkan tubuhku, mentari sudah tersenyum di ufuk
timur. Aku pun dengan malas melangkahkan kakiku ke kamar Nenek, kulihat Nenek
masih terlelap dalam mimpinya. Ku dapati kamar Ayah yang masih kosong, artinya
semalam Ayah tidak pulang. Pagi ini benar-benar sepi, tapi tiba-tiba terdengar
kegaduhan di depan rumahku, ternyata segerombolan polisi datang ke rumahku,
dengan borgol dan pistolnya. Tanpa permisi mereka langsung masuk.
“Selamat pagi.” Ucap salah satu polisi
dengan hormat
“Pagi Pak.” Jawabku dengan ragu dan tak
mengerti
“Saudari Ratna Fajriani?”
“Benar Pak, ada apa Pak?” Aku belum
mengerti apa yang dilakukan polisi ini pada ku
“Ikut kami ke Kantor Polisi.” Salah satu
polisi memasang borgol di tanganku
“Lho Pak, salah apa saya?” Tanyaku dan
mencoba melawan.
“ Sudah ikut kami, Nanti kami jelaskan
di kantor.” Aku masih belum juga mengerti
Sesampainya di kantor polisi
di sana ada Ayah yang sedang di depan komputer, aku tahu Ayah memang biasa
bekerja membantu polisi. Aku juga melihat bu Frans, Fajar, dan beberapa
karyawan bu Frans yang aku temui kemarin. Aku melihat wajah Ayah yang terlihat
biasa saja melihat anaknya ditanggap polisi.
“Apakah orang yang selama ini kuanggap
Ayah benar-benar Ayahku?” Tanyaku dalam hati karena Ayah yang begitu cuek
denganku.
Setelah diinterogasi
oleh beberapa polisi, aku benar-benar terkejut mendengarkan penjelasan polisi,
mereka menganggapku PSK yang bekerja di tempat bu Frans. Ya Tuhan sebenarnya
ada apa dengan ini semua. Sungguh membelalakkan mataku, Fajar yang kuanggap
malaikat penolong dalam hidupku ternyata dalang di balik semua ini, dia ingin
memperkerjakan ku sebagai pelacur.
Polisi mempunyai bukti
jelas, yakni surat kontrak aku bekerja dengan bu Frans. Meskipun aku sudah
menjelaskan sejelas-jelasnya tapi polisi benar-benar tak percaya. Bagaimana ini,
aku tak hanya memikirkan penangkapanku, hari ini adalah regristasi online terakhir di UGM. Aku benar-benar tidak tahu
bagaimana nasibku saat ini. Hingga kulihat Ayah yang mendekati kedua polisi
yang menginterogasiku. Ayah membawa semua bukti bahwa aku tak bersalah. Aku tak
tahu dari mana Ayah mendapatkan foto-foto ini semua. Didukung dengan pemeriksaan
dari kepolisian dan dokter aku terbukti tidak bersalah.
Betapa aku merasa bersalah
pada Ayah, betapa Ayah sangat perhatian padaku, lebih dari apa yang aku pahami.
Ternyata Ayah memberiku pelajaran lewat semua ini. Aku pun segera memeluk Ayah
erat-erat. Aku sudah tidak peduli lagi bagaimana nasib regristasi-ku di UGM. Aku dibebaskan dari Kantor Polisi sekitar
pukul 02.00, sedangkan regristasi
terakhir jam 24.00, benar-benar terlambat. Meskipun malam ini aku kecewa, tapi
betapa aku bahagia terselamatkan dari kemaksiatan yang hebat terlebih aku sudah
mendapatkan jawaban yang selama ini ingin Ayah sampaikan padaku.
Jarum jam menunjukkan
pukul 03.00 sesampainya di rumah pelukan Nenek dan Arya menyambut kepulanganku.
Setelah panjang lebar bercerita tentang semua yang ku alami, aku hanya duduk
termenung meratapi nasib, pekerjaan nggak dapat, hampir jadi pelacur, dan
sekarang aku kehilangan kesempatan untuk kuliah.
Pagi memang selalu Indah,
begitu pula pagi ini semua doaku pada Tuhan ternyata terkabul, mataku kembali
terbelalak setelah mendengar cerita Arya, Arya menceritakan semua yang dilakukan
Adit untukku. Ternyata Adit yang menyelesaikan semua proses regristasi-ku, Adit telah mencari tahu
semua data diriku dari Arya. Meskipun dia sendiri tidak diterima SNMPTN Undangan,
dia yang selama ini aku anggap sainganku justru menyelamatkan kesempatan
indahku, terima kasih Tuhan.
Sungguh banyak sekali
pelajaran yang aku dapat dari sepotong perjalanan hidupku, Ratna yang sekarang
adalah Ratna yang lebih dewasa, aku benar-benar menyayangi keluargaku, terutama
Ayah. Bodohnya aku baru menyadari mempunyai Ayah sehebat beliau.
Betapa beruntungnya aku
saat ini bisa belajar di Universitas impianku, bersama Adit yang diterima juga
di UGM lewat SNMPTN tulis, Adit di Fakultas Farmasi dan Aku di Fakultas MIPA,
kampus kami berdekatan kami bersama-sama mengukir mimpi-mimpi indah di sini,
sama-sama mempunyai komitmen untuk saling menguatkan. Aku dan Adit percaya
kelak Tuhan akan menggenggam mimpi-mimpi hambanya selama ada doa dan usaha.
Selama jantung ini masih berdetak dan darah masih mengalir selama itu pula mimpi-mimpi
harus diperjuangkan, karena mimpi-mimpilah yang mampu membuat kami bertahan
sejauh ini, dan menguatkan langkah kami.
Terima kasih Tuhan semua
pemberianmu adalah sumber kebahagiaan, meski terkadang terasa menyedihkan, tapi
aku percaya semua takdirmu adalah yang terbaik untukku. (Nur Hayati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar