Oleh: Gustirana Dwiputra*
Berbicara
tentang idealisme, pasti terbayang sesuatu yang paling di anggap sempurna dan
sesuai dengan yang ada di angan-angan. Sebuah pemikiran dan suatu batasan yang
dibuat oleh manusia sehingga idealisme dapat merepresentasikan sesuatu, entah
hal baik atau buruk. Kondisi
manusia yang mempertahankan idealismenya disebut idealis. Segala sesuatu harus
dilakukan sesuai dengan apa yang telah kita rencanakan dengan sebaik-baiknya.
Misalnya, dalam kesehariannya seseorang sangat rapi dan perfeksionis apabila ia
melihat sesuatu atau lingkungan yang sangat bertolak belakang dengannya, maka
ia akan merasa tidak nyaman. Seperti halnya orang yang sudah
terbiasa membasuh kakinya ketika memasuki rumah setelah bepergian, maka bila ia
tidak melakukannya sehari saja, ia akan merasa risih dan tidak nyaman. Contoh di atas bisa dikatakan bahwa idealisme
juga merupakan sebuah kebiasaan. Selain itu, suatu idealisme dapat
direalisasikan dengan sebuah cita-cita hidup, yang berarti idealisme merupakan mindset untuk menggapai tujuan dan
cita-cita.
Secara garis besar idealisme dapat dibagi
menjadi dua bagian, yakni idealisme baik dan idealisme buruk. Sudah pasti
idealisme yang baik adalah pilihan terbaik bagi semua orang. Akan tetapi,
terdapat sebuah realita yang menjadi tamparan keras bagi idealisme kita.
Sesempurna apapun idealisme dan rencana yang telah kita buat, apabila takdir
berkata lain maka harus diterima pula takdir itu dengan lapang dada. Kunci
terpenting dari semua ini adalah bagaimana kita menghadapi idealisme yang
kurang atau bahkan tidak sesuai dengan realita kehidupan kita? Mungkin
idealisme yang sudah cukup sesuai dengan realita kehidupan seseorang akan
berjalan dengan baik seiring berjalannya waktu. Ibarat setiap orang sudah
digariskan berpasang-pasangan di dunia ini oleh Allah SWT seperti yang
diterangkan dalam Al-quran. Berikut adalah sebuah diagram alir yang dapat
menggambarkan perjalanan seseorang menemukan idealismenya hingga sesuai dengan
kenyataan yang terjadi pada dirinya.
Bagi seseorang yang telah menemukan
kecocokan antara idealisme terhadap dirinya, maka tantangan berikutnya adalah
mengembangkannya menjadi sebuah potensi, konsistensi (keistikomahan) usaha, dan
semangat terhadap idealisme yang dimiliki. Kebanyakan orang yang sudah
memperoleh pencapaian cita-cita, tidaklah mudah untuk menjaga
dan mengembangkannya. Contoh saja, saat ini banyak buku-buku motivasi perjalanan hidup public figure dari awal masa perjuangan
hingga mencapai cita-cita. Ada yang perjalanannya cukup mudah dalam fase
penggapaian, tetapi sulit dalam mengembangkan dan menjaganya. Ada juga yang
dari awal hingga akhir fase mengalami perjuangan dan usaha yang sangat keras untuk
mencapai titik kesuksesan. Dalam tahapan mengapai kesuksesan seperti yang
tertera pada flowchart di atas, ada
yang melewati tahapan-tahapan itu layaknya manusia pada umumnya. Namun, ada
pula yang harus melewati tahapan-tahapan khusus untuk bisa mencapai kata
sukses.
Berdasarkan diagram di atas pula, yang
dimaksud dengan seseorang yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu tersebut adalah orang yang pernah
mengalami ketidaksesuaian idealisme yang dimiliki dengan realita yang ada pada
dirinya. Di sinilah sebenarnya kualitas diri seseorang diuji. Janganlah merasa
bahwa tahapan-tahapan ini yang akan memperlama waktu kita untuk
mencapai cita-cita hidup. Memang waktu menjadi poin penting bagi kita. Namun,
berpikir positif terhadap waktu akan jauh lebih baik. Justru
dalam waktu muda ini, peluang munculnya celah-celah
harapan dan tekad akan muncul apabila usaha yang dilakukan pada fase ini
dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Hingga pada suatu
titik, akan menyamai fase yang dimiliki seseorang yang sudah menemukan
kesesuaian dari awal. Jadikan waktu adalah pedang bagi kita. Waktu adalah
pengontrol langkah tempo pergerakan kita dalam setiap tahapan yang dilakukan. Salah sedikit saja dalam memanfaatkan fasenya, maka
bersiaplah pedang akan menghempaskan kita.
Satu poin penting dalam fase kali ini adalah proses berserah diri setelah melakukan
usaha maksimal (tawakal). Ini merupakan fase yang harus
disisipkan di setiap tahapan yang dilakukan yakni menggapai, mengembangkan,
dan menjaga. Pada akhirnya tawakal dapat menjadi perisai seseorang untuk
menghadapi kemungkinan apapun yang terjadi pada
hasil setiap fase yang dihadapi. Step
ini memang terkadang tidak mudah, terutama bagi seseorang yang belum terbiasa
untuk menerima kegagalan. Kita harus yakin bahwa Allah SWT
sudah memberikan rencana yang terindah menurut-Nya, sekalipun terasa sakit bagi
kita. Buatlah hati kita damai dan menjaganya agar tetap berprasangka baik
terhadap segala sesuatu. Diharapkan hal tersebut dapat menjadi sebuah pelajaran
berharga untuk ke depannya.
Kesuksesan itu adalah hak bagi seluruh manusia. Akan tetapi, seperti
halnya seseorang yang bekerja di suatu instansi, hak tersebut hanya bisa didapatkan jika kewajiban
yang seharusnya dapat dipenuhi dengan baik dan usaha maksimal. Alangkah adilnya
Allah SWT telah menggariskan semuanya agar diperoleh dengan usaha dan tidak
didapatkan secara cuma-cuma. Hal ini semata-mata agar manusia selalu mengambil
pelajaran dari setiap kejadian hidup yang telah terjadi. Pedoman yang pasti,
tidak semua urusan di zaman globalisasi ini dapat dilakukan dan didapatkan
secara instan secepat membuat mi instan. Fondasi fundamental yang harus
dimiliki adalah rasa syukur dan menerima segala sesuatunya dengan tabah dan
hati yang putih. Tinggal menentukan, ingin menjadi orang yang berkualitas
dengan semangat yang tinggi menghadapi
apapun rintangan yang terjadi atau menjadi orang yang
galau meratapi nasibnya? Inilah, antara idealisme dan realita.
*Gustirana Dwiputra lahir di
Jakarta, 9 Juli 1994 dari pasangan Agustono dan Rohana. Sekarang ia menempuh
pendidikan tinggi di jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sampai saat ini aktif sebagai staff di Keluarga Mahasiswa Teknik Fisika UGM dan
Keluarga Muslim Teknik UGM. Mahasiswa yang gemar membaca novel science fiction
ini, sekarang tinggal di kota Yogyakarta selama masa kuliahnya. Untuk menghubunginya,
silahkan kirim email di : gustiranawiputra@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar