Oleh : Titisan
Senja**
“Mak, Bimo minta
dibeliin adek bayi, ya.” Rengekku pada emak yang sedang membungkus tempe dengan
daun pisang. Emak yang terlihat sibuk mempersiapkan dagangannya untuk hari pasar
esok hari, hanya menanggapi permintaanku dengan senyum dikulum. Waktu itu,
namanya juga masih usia delapan tahun, ku pikir adik bayi bisa dibeli di toko
sebagaimana aku bisa membeli sepeda wimcycle. Dan senyum emak ku
tafsirkan sebagai pengiyaan. Buktinya, setahun sesudahnya perut emak membesar
dan lahirlah adek bayi laki-laki yang sangat ku nanti.
Sejak
kelahiran adek bayi, hari-hariku yang dulunya sepi kini menjadi gegap gempita.
Saat Galih belajar berjalan, maka aku lah yang pertama kali menepukinya jika ia
berhasil menggapai roti yang kupegang sebagai rangsangan. Ketika aku didaulat
emak untuk menyuapi Galih, maka ku sendokkan bubur dengan porsi besar-besar
agar ia cepat tumbuh berkembang dan bisa ku ajak naik sepeda keliling kampung,
aku juga ingin mengajaknya bermain layang-layang di pematang sawah dan berenang
di sungai ujung kampung. Ah, senangnya!
Sepulang
sekolah, selepas berganti pakaian, sembahyang dan makan langsung ku boncengkan Galih
di atas sepeda, dengan terbahak dia menyuruhku mengayuh sepeda lebih laju dan
akhirnya kami berhenti di tepi sungai, kelelahan. Tidak lupa kami akan berlomba
siapa yang paling lama tahan menyelam maka hadiahnya adalah makan talok
sepuasnya. Yah, anak sungai Bengawan Solo ini dilimpahi pohon-pohon talok
yang membiarkan kami berpesta pora dengan buahnya yang merah manis itu.
Namun
kecerian begitu cepat berganti pilu, suatu senja yang mendung, selepas aku dan
Galih puas menyelam di sungai, malamnya Galih batuk tiada henti. Segala macam
minuman herbal yang dipercaya meredakan batuk sudah emak minumkan padanya,
namun kian hari kian menjadi saja batuk itu. Aku sedih, menganggap Galih sakit
batuk karena sering ku ajak berenang, tak kuasa diriku melihat adikku terbaring
lemas, nafasnya tersengal dan ketika berbicara batuknya menyembur-nyembur
berebut mau keluar dari ternggorokan. Badannya yang kurus kian layu, ya Allah
maafkan Bimo.
Emak
memutuskan membawa Galih untuk di rawat di puskesmas. Tepat seminggu setelah
pengumuman kelulusan SLTA ku, Galih dengan semburat senyum di ujung bibirnya
berpulang untuk selamanya. Dadaku sesak menahan hantaman tangis yang ku tahan,
dan detik itu pula aku baru tahu bahwa penyebab kanker paru-paru Galih karena
dia menjadi perokok pasif. Yah, bapakku memang perokok berat dan pemabuk berat.
Perasaan sedih kehilangan Galih membuatku mencari pelampiasaan dengan
menyalahkan bapak sebagai muasal musibah ini. Sewaktu aku masih di Sekolah Dasar,
bapak selalu berhasil membuatku menjadi bahan ejekan kawan-kawan. Bahwa aku
dicap sebagai anak si pemabuk, penjudi dan bahkan bapak kerap tertidur di pos
ronda sampai siang bolong dengan keadaan teler hingga kawan-kawanku
memanggilinya ‘orang gila’. Anak mana yang tidak malu dengan keadaan orang
tuanya yang demikian? Bahkan sampai SLTA pun cemoohan dari teman sekolah dan
sepermainan belum jua surut, bermuasal dari itu hubunganku dengan bapak semakin
renggang bagaikan bumi dan langit. Ditambah dengan kematian Galih, murkaku
padanya semakin menjadi. Dengan membawa segunung murka, seminggu setelah jasad
Galih berkubang tanah merah, aku berpamitan pada emak untuk merantau ke
Kalimantan. Pasalnya jelas, aku tak mau lagi serumah dengan seorang bapak yang
telah ‘membunuh’ anaknya. Niatku bulat, andai emak tidak merestui, aku akan
tetap pergi.
Berbekal
restu emak aku akhirnya menyebrang ke pulau Kalimantan. Dan sejak kepergianku yang
pertama, aku tidak berkeinginan pulang ke kampung, hanya uang yang aku kirimkan
untuk emak dan menelponnya sebulan sekali. Berulang kali emak menyuruhku pulang
menjenguknya dan bapak, aku selalu mengelak dengan berjuta alasan, entah itu
tidak ada libur atau kerjaan sedang banyak. Intinya, sepuluh tahun kepergianku
ini belum pula menuntaskan murka ku pada bapak, enggan rasanya bersitatap muka
dengannya lagi.
Setiap
kali aku menelpon emak, tidak satu kata dari ku terucap untuk mencari tahu
kabar bapak. Malas. Toh, meski aku tidak bertanya emak dengan senang hati melaporkan
keadaan bapak. Dari percakapan dengan emak, ku tahu tidak banyak yang berubah
dengan tabiat bapak. Masih saja hobi minuman keras, merokok, hanya saja ia
tidak lagi teler di pos ronda. Penghujung
musim hujan lalu, tidak biasanya emak menelponku duluan, selama ini selalu aku
yang menelpon emak. Setelah basa-basi menanyakan kabarku, akhirnya emak
bercerita bahwa bapak sedang di rawat di rumah sakit, paru-parunya bengkak. Dengan
penuh iba emak memintaku untuk pulang, emak bilang bapak ingin berjumpa
denganku. Emak juga bilang bapak kini sudah berubah, sudah mulai ke masjid
walau masih bolong. Aku acuhkan saja permohonan emak, hanya ku kirim uang untuk
pengobatan bapak, aku masih belum ingin bertemu dengan bapak yang telah
mengakibatkan adek kesayanganku meninggal.
Situasi
ini terus berlanjut, sampai suatu kesempatan, di tambang batu bara dimana aku
bekerja mengadakan pengajian sebagai acara rutin menjelang ramadhan. Ajaibnya,
ustadz yang mengisi adalah kyai kondang yang sangat aku idolakan. Dengan
berbekal bolpoin serta secarik booknote aku bersemangat mengikuti
pengajian plus ingin meminta tanda tangan beliau, maklum beliau kyai yang
acapkali tampil di televisi. Begitu antusias aku menyimak isi kajiannya, pak kyai
mengangkat tema birul walidain, berbakti pada ibu bapak sebagai tema
pengajian, mungkin pak kyai mencoba mengingatkan kami para perantau untuk ingat
dengan orang tua. Betapa kaget aku dibuatnya, kyai mengisahkan bahwa dahulu
nabi Muhammad Saw menangis. Usut punya nabi bersedih karena beliau diizinkan
menziarahi makam ibunya namun beliau tidak diizinkan memohonkan ampun untuk
sang ibu. Lalu pak kyai menyebutkan beberapa ayat Al-Qur’an yang melarang kita
orang-orang yang beriman menshalatkan jenazah orang kafir, larangan memohonkan
ampun untuk mereka meski mereka adalah bapak, ibu maupun sanak kerabat kita.
Seolah kesadaranku
dihempaskan begitu saja. Bapakku sedang sakit, sedang beliau terkenal ahli
maksiat, jangan tanya apakah dulu beliau shalat, menyebut asma Allah saja tidak
pernah, meski kata emak sekarang bapak sudah mulai ke masjid akan tetapi masih
sering bolong-bolong. Padahal emak begitu rajin beribadah, aku juga lumayan
rajin, lantas saat bapak meninggal nanti siapa yang akan mendoakannya? Ketika
kesadaranku mulai dapat ku kuasai, aku segera menelpon agen tour untuk
memesan tiket pesawat untuk pulang. Sudah saatnya aku pulang, saatnya aku untuk
berbakti pada orang tua, uang saja tidak cukup mewakili pengabdianku pada
mereka dan aku harus memafkan semua yang telah menjadi takdir, bagaimanapun
juga bapak adalah bapakku. Saatnya mencoba mendakwahi bapak, semoga masih
sempat Ya Allah, aku ingin menjadi anak sholeh yang bisa melambungkan
buhul-buhul do’a ke langit saat bapak telah tiada nanti. Sekuat tenaga aku
ingin merengkuh keluargaku, agar kelak kami berkumpul di surga, dimana malaikat
mengucapkan salam pada kami di pintu-pintu surga-Nya. Amiiin. ****Dimuat dalam rubrik HIKMAH majalah Al-Mar’ah edisi Agustus 2014
**Apri, demikian ia disapa. Purna masa SMA 2010, ia melepaskan kesempatan kuliah di salah satu universitas negeri ternama di Solo lantas bergabung dengan Majalah Wanita MTA, Al-Mar’ah hingga detik ini. Untuk menajamkan mata penanya ia terus mengikuti berbagai lomba, puisinya yang berjudul ‘Aku Tak Mengharap Cintamu lagi’ pernah dimuat di majalah remaja MOP (2007), baru-baru ini ia menjuarai lomba penulisan artikel yang diadakakan P3MBTA (Pusat Pelatihan dan Pembelajaran Muhadharah dan Baca Tulis Al-Qur’an) IAIN Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar