Selasa, 06 Januari 2015

Bapak, Siapa yang Akan Mendoakanmu?*



Oleh : Titisan Senja**

“Mak, Bimo minta dibeliin adek bayi, ya.” Rengekku pada emak yang sedang membungkus tempe dengan daun pisang. Emak yang terlihat sibuk mempersiapkan dagangannya untuk hari pasar esok hari, hanya menanggapi permintaanku dengan senyum dikulum. Waktu itu, namanya juga masih usia delapan tahun, ku pikir adik bayi bisa dibeli di toko sebagaimana aku bisa membeli sepeda wimcycle. Dan senyum emak ku tafsirkan sebagai pengiyaan. Buktinya, setahun sesudahnya perut emak membesar dan lahirlah adek bayi laki-laki yang sangat ku nanti.

Sejak kelahiran adek bayi, hari-hariku yang dulunya sepi kini menjadi gegap gempita. Saat Galih belajar berjalan, maka aku lah yang pertama kali menepukinya jika ia berhasil menggapai roti yang kupegang sebagai rangsangan. Ketika aku didaulat emak untuk menyuapi Galih, maka ku sendokkan bubur dengan porsi besar-besar agar ia cepat tumbuh berkembang dan bisa ku ajak naik sepeda keliling kampung, aku juga ingin mengajaknya bermain layang-layang di pematang sawah dan berenang di sungai ujung kampung. Ah, senangnya!
Sepulang sekolah, selepas berganti pakaian, sembahyang dan makan langsung ku boncengkan Galih di atas sepeda, dengan terbahak dia menyuruhku mengayuh sepeda lebih laju dan akhirnya kami berhenti di tepi sungai, kelelahan. Tidak lupa kami akan berlomba siapa yang paling lama tahan menyelam maka hadiahnya adalah makan talok sepuasnya. Yah, anak sungai Bengawan Solo ini dilimpahi pohon-pohon talok yang membiarkan kami berpesta pora dengan buahnya yang merah manis itu.
Namun kecerian begitu cepat berganti pilu, suatu senja yang mendung, selepas aku dan Galih puas menyelam di sungai, malamnya Galih batuk tiada henti. Segala macam minuman herbal yang dipercaya meredakan batuk sudah emak minumkan padanya, namun kian hari kian menjadi saja batuk itu. Aku sedih, menganggap Galih sakit batuk karena sering ku ajak berenang, tak kuasa diriku melihat adikku terbaring lemas, nafasnya tersengal dan ketika berbicara batuknya menyembur-nyembur berebut mau keluar dari ternggorokan. Badannya yang kurus kian layu, ya Allah maafkan Bimo.
Emak memutuskan membawa Galih untuk di rawat di puskesmas. Tepat seminggu setelah pengumuman kelulusan SLTA ku, Galih dengan semburat senyum di ujung bibirnya berpulang untuk selamanya. Dadaku sesak menahan hantaman tangis yang ku tahan, dan detik itu pula aku baru tahu bahwa penyebab kanker paru-paru Galih karena dia menjadi perokok pasif. Yah, bapakku memang perokok berat dan pemabuk berat. Perasaan sedih kehilangan Galih membuatku mencari pelampiasaan dengan menyalahkan bapak sebagai muasal musibah ini. Sewaktu aku masih di Sekolah Dasar, bapak selalu berhasil membuatku menjadi bahan ejekan kawan-kawan. Bahwa aku dicap sebagai anak si pemabuk, penjudi dan bahkan bapak kerap tertidur di pos ronda sampai siang bolong dengan keadaan teler hingga kawan-kawanku memanggilinya ‘orang gila’. Anak mana yang tidak malu dengan keadaan orang tuanya yang demikian? Bahkan sampai SLTA pun cemoohan dari teman sekolah dan sepermainan belum jua surut, bermuasal dari itu hubunganku dengan bapak semakin renggang bagaikan bumi dan langit. Ditambah dengan kematian Galih, murkaku padanya semakin menjadi. Dengan membawa segunung murka, seminggu setelah jasad Galih berkubang tanah merah, aku berpamitan pada emak untuk merantau ke Kalimantan. Pasalnya jelas, aku tak mau lagi serumah dengan seorang bapak yang telah ‘membunuh’ anaknya. Niatku bulat, andai emak tidak merestui, aku akan tetap pergi.
Berbekal restu emak aku akhirnya menyebrang ke pulau Kalimantan. Dan sejak kepergianku yang pertama, aku tidak berkeinginan pulang ke kampung, hanya uang yang aku kirimkan untuk emak dan menelponnya sebulan sekali. Berulang kali emak menyuruhku pulang menjenguknya dan bapak, aku selalu mengelak dengan berjuta alasan, entah itu tidak ada libur atau kerjaan sedang banyak. Intinya, sepuluh tahun kepergianku ini belum pula menuntaskan murka ku pada bapak, enggan rasanya bersitatap muka dengannya lagi.
Setiap kali aku menelpon emak, tidak satu kata dari ku terucap untuk mencari tahu kabar bapak. Malas. Toh, meski aku tidak bertanya emak dengan senang hati melaporkan keadaan bapak. Dari percakapan dengan emak, ku tahu tidak banyak yang berubah dengan tabiat bapak. Masih saja hobi minuman keras, merokok, hanya saja ia tidak lagi teler  di pos ronda. Penghujung musim hujan lalu, tidak biasanya emak menelponku duluan, selama ini selalu aku yang menelpon emak. Setelah basa-basi menanyakan kabarku, akhirnya emak bercerita bahwa bapak sedang di rawat di rumah sakit, paru-parunya bengkak. Dengan penuh iba emak memintaku untuk pulang, emak bilang bapak ingin berjumpa denganku. Emak juga bilang bapak kini sudah berubah, sudah mulai ke masjid walau masih bolong. Aku acuhkan saja permohonan emak, hanya ku kirim uang untuk pengobatan bapak, aku masih belum ingin bertemu dengan bapak yang telah mengakibatkan adek kesayanganku meninggal.
Situasi ini terus berlanjut, sampai suatu kesempatan, di tambang batu bara dimana aku bekerja mengadakan pengajian sebagai acara rutin menjelang ramadhan. Ajaibnya, ustadz yang mengisi adalah kyai kondang yang sangat aku idolakan. Dengan berbekal bolpoin serta secarik booknote aku bersemangat mengikuti pengajian plus ingin meminta tanda tangan beliau, maklum beliau kyai yang acapkali tampil di televisi. Begitu antusias aku menyimak isi kajiannya, pak kyai mengangkat tema birul walidain, berbakti pada ibu bapak sebagai tema pengajian, mungkin pak kyai mencoba mengingatkan kami para perantau untuk ingat dengan orang tua. Betapa kaget aku dibuatnya, kyai mengisahkan bahwa dahulu nabi Muhammad Saw menangis. Usut punya nabi bersedih karena beliau diizinkan menziarahi makam ibunya namun beliau tidak diizinkan memohonkan ampun untuk sang ibu. Lalu pak kyai menyebutkan beberapa ayat Al-Qur’an yang melarang kita orang-orang yang beriman menshalatkan jenazah orang kafir, larangan memohonkan ampun untuk mereka meski mereka adalah bapak, ibu maupun sanak kerabat kita.
Seolah kesadaranku dihempaskan begitu saja. Bapakku sedang sakit, sedang beliau terkenal ahli maksiat, jangan tanya apakah dulu beliau shalat, menyebut asma Allah saja tidak pernah, meski kata emak sekarang bapak sudah mulai ke masjid akan tetapi masih sering bolong-bolong. Padahal emak begitu rajin beribadah, aku juga lumayan rajin, lantas saat bapak meninggal nanti siapa yang akan mendoakannya? Ketika kesadaranku mulai dapat ku kuasai, aku segera menelpon agen tour untuk memesan tiket pesawat untuk pulang. Sudah saatnya aku pulang, saatnya aku untuk berbakti pada orang tua, uang saja tidak cukup mewakili pengabdianku pada mereka dan aku harus memafkan semua yang telah menjadi takdir, bagaimanapun juga bapak adalah bapakku. Saatnya mencoba mendakwahi bapak, semoga masih sempat Ya Allah, aku ingin menjadi anak sholeh yang bisa melambungkan buhul-buhul do’a ke langit saat bapak telah tiada nanti. Sekuat tenaga aku ingin merengkuh keluargaku, agar kelak kami berkumpul di surga, dimana malaikat mengucapkan salam pada kami di pintu-pintu surga-Nya. Amiiin. ***

*Dimuat dalam rubrik HIKMAH majalah Al-Mar’ah edisi Agustus 2014
**Apri, demikian ia disapa. Purna masa SMA 2010, ia melepaskan kesempatan kuliah di salah satu universitas negeri ternama di Solo lantas bergabung dengan Majalah Wanita MTA, Al-Mar’ah hingga detik ini. Untuk menajamkan mata penanya ia terus mengikuti berbagai lomba,  puisinya yang berjudul ‘Aku Tak Mengharap Cintamu lagi’ pernah dimuat di majalah remaja MOP (2007), baru-baru ini ia menjuarai lomba penulisan artikel yang diadakakan P3MBTA (Pusat Pelatihan dan Pembelajaran Muhadharah dan Baca Tulis Al-Qur’an) IAIN Surakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar