Jumat, 20 Februari 2015

Kala Fajar Terbit


Karya : Masruroh*
 


Fajar. Seorang pemuda di pelosok Boyolali. Pemuda yang mempunyai cita-cita nan mulia, mencoba untuk mewujudkan dengan belajar sungguh-sungguh sewaktu dini. Bukan hanya sekolah yang ia jalani, datang ke surau setiap sore untuk menuntut ilmu Islam dengan ustadz sesepuh desa ini, tak lupa ia datang ke sawah untuk membantu orangtuanya bertani. Ya, orangtua Fajar tak lain adalah buruh tani yang hanya menggarap sawah milik orang lain. Keadaan ekonomi keluarganya membuat Fajar tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Selain itu, anak buruh tani ini terlalu lambat menerima ilmu dimana ia belajar. Hanya lulusan SD dengan tiga tahun terpaksa harus tinggal kelas dan tiga tahun dapat naik atas bantuan guru pengampunya. Dengan kejadian ini, orangtuanya berpikir lebih keras dimana jika menyekolahkan tinggi-tinggi takut Fajar akan bernasib sama sewaktu SD. 

“Bu, kulo pengen sekolah meleh.” Katanya penuh harapan.
 “Gimana ya le, sebenere ibu yo pengen kowe sekolah, biar pinter kalau nak isoh jadi profesor.” Jawab ibunya penuh harapan pula yang disaksikan Fajar dan bapaknya yang berada di luar sedang memilih sayuran yang akan dijual esok, juga tidak menanggapi pembicaraan mereka. Ya, orangtua mana yang tidak menginginkan jika anaknya dapat sukses dan mempunyai pendidikan yang tinggi? Pasti, setiap orangtua yang baik menginginkannya. Tak terkecuali dengan orangtua Fajar, tapi mau dikata kondisi Fajar dan keluarganya sekarang ini.
            Namun, meski kondisi ekonomi yang rendah dan kondisi Fajar yang terlalu lambat menerima ilmu, ia selalu ikut belajar agama walau hafalannya tak bisa seperti dengan temannya yang sudah hafal surat-surat lebih banyak darinya. Namun, semangatnya tak pernah patah dan selalu mencoba menghafal dan menghafal serta belajar. Sampai-sampai ia merelakan malam waktu istirahatnya pergi ke rumah ustadz untuk belajar. Segera ia mengetuk pintu dan mengucap salam yang tak lama kemudian pintu dibuka oleh Ustadz Shaleh. Percakapan mereka terlalu lama dan akhirnya membuat Fajar bertanya yang hampir putus asa “Ustadz, saya pernah mendengar bahwa Allah menciptakan manusia semuanya sama, tapi kenapa saya berbeda dengan yang lain? Saya tidak pintar, kenyataannya saya sewaktu SD lulus saja dengan bantuan guru dan sekarang saya tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Padahal, saya ingin sekali sekolah, ustadz.” Tak lupa Ustadz Shaleh menjawab dengan memberi motivasi kepadanya. “Allah menciptakan manusia itu semuanya sama, hanya yang membedakan adalah iman dan takwa mereka dan Allah tidak melihat kekurangan fisik dari makhlukNya, tapi Allah melihat iman dari mereka. Jadi kamu jangan khawatir dan kamu juga jangan pernah menyalahkan Allah, karena Dia telah merencanakan yang terbaik untuk hambaNya tanpa membedakan sedikitpun, jadi jangan pernah meragukan kekuasaanNya, Fajar.” Nasihat ustadz penuh sabar. Tanpa waktu lama, Fajar diajak oleh ustadz untuk ikut membantu beliau menyiarkan agama dengan baik. Satu-satunya ustadz yang ada di desa ini tidak pernah lengah mengajari anak didiknya terutama Fajar yang beda dengan yang lain. Dan ustadz melihat perkembangan Fajar yang selalu semangat untuk menuntut ilmu beliau percaya kepada Fajar bahwa ia bisa mendidik anak-anak desa untuk mendalami agama islam dengan benar suatu saat nanti.
            Mulai sore ini, Fajar bersemangat membersamai anak-anak belajar di surau. Seiring berjalannya waktu, tak lama ia diberi kesempatan berbagi ilmu dengan anak-anak desanya, warga sudah tidak lagi berniat untuk mengizinkan anak-anaknya ke surau dengan alasan adanya Fajar, yang menganggap rendah dan tidak percaya jika Fajar berbagi ilmu dengan anak-anak desa ini. Ya, warga desa memang sudah sejak dulu mengetahui bahwa Fajar tidak mempunyai otak cerdas dan selalu menganggap rendah dirinya. Dengan itu, ustadz langsung menginginkan Fajar untuk pergi, menuntut Ilmu di pondok pesantren nan jauh.
            Di pondok pesantren, bukan hanya agama islam yang disampaikan, tapi bagaimana cara bertani yang baik dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menunjang kehidupan mereka. Selain itu, pondok tersebut tak jauh dan tak lain disekitarnya masih terdapat tanah yang subur, sehingga bagaimana caranya pengurus pondok tersebut dapat memanfaatkan lahan nan subur itu disamping menimba ilmu agama. Bertani atau berkebun sudah menjadi mata pencaharian warga terutama warga desa sekitar pesantren.
            Sudah lama Fajar menimba ilmu di pesantren dan ia merasa sudah cukup, langsunglah ia balik dan mulai menjalankan misinya untuk pengabdian desanya. Ia jauh lebih baik dari sebelumnya, walau mungkin ia harus menerima anggapan negatif para warga. Kerumunan warga yang membicarakan kedatangan Fajar, entah di teras warga atau dimana saja banyak waga berkumpul. “Memangnya benar yo, kalau Fajar anak dungu niko bar muleh seko pondok?” “Oh, enggeh ibu-ibu. Kemarin pas kula saking griyanipun Fajar sampun benten karo zaman biyen. Sakniki sampun koyo orang ‘bener’ niko.” “Tapi saking pundi artone? Padahal keluargane kan termasuk keluarga termiskin di desa mriki?” “Denger-denger nggeh ibu-ibu, biaya pondok pesantren niku saking Pak Ustadz Shaleh.” Bla…bla..blaaaa……… Ya, obrolan ibu-ibu setiap hari. Dengan tanggapan warga baik positif atau negatif terhadap dirinya, Fajar tidak terlalu peduli karena terserah apa kata orang, tapi yang pasti ia tidak menyimpang ketika berbuat atau barucap.
            Banyak warga yang sudah bisa menerima Fajar karena melihat kegigihan dan usahanya ketika setiap saat giat menyiangi dan bertani di sawah. Selain membantu orangtuanya di sawah yang mereka garap, ia juga bisa membantu petani lain yang merupakan warga sekitar untuk memberi ilmu atau cara bertani yang baik. Lalu Pak Lurah mengadakan pertemuan kecil kepada petani untuk mendapatkan ilmu bertani. Ya, bangga hati Fajar saat ini diberi kepercayaan oleh orang lain untuk berbagi ilmu yang sudah ia dapat ketika di pondok beberapa waktu lalu. Dari bagaimana mengenal tanah yang baik untuk ditanam tumbuhan apa yang cocok untuk tanah itu dan sesuai musimnya, menyiangi sawah dengan baik, dan sampai mengatur tanah sehingga dapat membuat tanaman subur serta cara memasarkan hasil tani mereka. Tak lupa, pupuk yang baik untuk digunakan bertani. Semakin hari, banyak warga yang datang ke rumah Pak Lurah untuk ikut mengetahui ilmu yang diberikan Fajar.
            Tidak sampai disitu saja ia merubah warga menjadi lebih baik dari dulu dalam segala hal yang ia ketahui. Selain berbagi ilmu bertani, ia juga mendirikan TPA dengan progam tahfidz yang sudah didirikan oleh almarhum Ustadz Shaleh. Ya, ketika ia berada di pondok pesantren, ustadz satu-satunya di desa ini masih bersemangat ingin membuat moral warga desa menjadi baik sudah menghadap Allah lebih dulu. Dengan tujuan baik ustadz, ia ingin melanjutkan perjuangan beliau yang mulia itu. Selama ia berada di pesantren dan ketika Ustadz Shaleh sudah meninggal, banyak warga terutama anak-anak desa dengan kondisi memprihatinkan. Dari mulainya televisi yang mulai banyak warga memilikinya, mereka beralih dari sering ke surau menjadi di rumah untuk melihat televisi dan bersantai-santai tanpa memikirkan amalan apa yang menjadi bekal di akirat kelak.
            Tanpa menunggu lama, ia segera mengajak warga terutama anak-anak untuk kembali lagi ke surau menerima ilmu agama seperti sediakala, beberapa tahun lalu. Mungkin untuk mengajarkan ilmu agama, masih banyak warga yang ragu dengannya, tapi setelah mendapat himbauan dari pak lurah, warga ada yang dengan keikhlasan atau keterpaksaan datang ke surau. Setelah mendengar dan mengamati ceramah atau pencerhan tentang islam oleh Fajar, warga merasa berhutang budi saat memperoleh keuntungan darinya ketika mendapatkan ilmu bertani, warga menjadi percaya bahwa Fajar tidak sepantasnya dipandang sebelah mata oleh mereka. “Makhluk Allah yang sempurna tak lain adalah manusia, kita. Karena kita diberi akal untuk berpikir bagaimana agar kita senantiasa ada dijalanNya.Selain itu Allah menciptakan manusia tidak selamanya baik atau selalu mempunyai kelebihan, tapi pasti, setiap manusia mempunyai kekurangan. Entah dari segi apa kekurangan itu muncul. Mungkin, dari cara berpikir manusia yang lemah atau mungkin kekurangan fisik sekalipun. Namun, dibalik itu semua Allah telah merencanakan yang indah untuk hambaNya. Dengan demikinan, tinggal bagaimana kita dapat menghargai kekurangan orang lain dan tidak menyombongkan kelebihan yang ada atau yang kita miliki.” Begitu sedikit pencerahan darinya untuk warga yang datang di surau kecil yang penuh dengan ketenangan.
           “Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari pada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan (kamu)” kalimat ini merupakan satu ayat alquran yang selalu Fajar pegang, apalagi disaat teringat perkataan warga desa dulu padanya. Tak ada salahnya jika memupuk asa mulai dini walau dalam kondisi apapun. Biar orang berkata mustahil pada diri kita, tapi jika setelah kita dapat menerima hasil disaat kita memupuk asa penuh semangat mengabdi dengan hati dan hasil itu menjadi manfaat untuk orang lain, maka kata mustahil yang dilontarkan orang lain akan berubah menjadi nyata. Tak akan bisa orang mendapatkan apa yang diinginkan tanpa diiringi tekad dan semangat layaknya pemuda seperti Fajar di tengah keterbatasannya ia tetap semangat layaknya sang fajar ketika mulai terbit untuk menyinari seisi alam

*MASRUROH, anak kedua dari dua bersaudara 19 tahun silam ini lahir di Sukoharjo, 19 Januari 1995. Putri dari bapak Satirno dan Ibu Sri Wastini ini sekarang melanjutkan ke Peguruan Tinggi Negeri yang diimpikan dan sekarang sudah semester 3 jurusan Sastra Indonesia. Dengan nama pena Ghaziya Masruroh yang berarti Perjuangan yang membawa kegembiraan ini mulai gemar menulis sejak SMP yang termotivasi dari beberapa penulis yang bisa sukses dengan tulisannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar