Karya : Masruroh*
Fajar. Seorang pemuda
di pelosok Boyolali. Pemuda yang mempunyai cita-cita nan mulia, mencoba untuk
mewujudkan dengan belajar sungguh-sungguh sewaktu dini. Bukan hanya sekolah
yang ia jalani, datang ke surau setiap sore untuk menuntut ilmu Islam dengan
ustadz sesepuh desa ini, tak lupa ia datang ke sawah untuk membantu orangtuanya
bertani. Ya, orangtua Fajar tak lain adalah buruh tani yang hanya menggarap
sawah milik orang lain. Keadaan ekonomi keluarganya membuat Fajar tidak dapat
lagi melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Selain itu, anak buruh tani ini
terlalu lambat menerima ilmu dimana ia belajar. Hanya lulusan SD dengan tiga
tahun terpaksa harus tinggal kelas dan tiga tahun dapat naik atas bantuan guru
pengampunya. Dengan kejadian ini, orangtuanya berpikir lebih keras dimana jika
menyekolahkan tinggi-tinggi takut Fajar akan bernasib sama sewaktu SD.
“Bu, kulo
pengen sekolah meleh.” Katanya penuh harapan.
“Gimana ya le, sebenere ibu yo
pengen kowe sekolah, biar pinter kalau nak isoh jadi profesor.” Jawab ibunya
penuh harapan pula yang disaksikan Fajar dan bapaknya yang berada di luar
sedang memilih sayuran yang akan dijual esok, juga tidak menanggapi pembicaraan
mereka. Ya, orangtua mana yang tidak menginginkan jika anaknya dapat sukses dan
mempunyai pendidikan yang tinggi? Pasti, setiap orangtua yang baik
menginginkannya. Tak terkecuali dengan orangtua Fajar, tapi mau dikata kondisi
Fajar dan keluarganya sekarang ini.
Namun,
meski kondisi ekonomi yang rendah dan kondisi Fajar yang terlalu lambat
menerima ilmu, ia selalu ikut belajar agama walau hafalannya tak bisa seperti
dengan temannya yang sudah hafal surat-surat lebih banyak darinya. Namun,
semangatnya tak pernah patah dan selalu mencoba menghafal dan menghafal serta
belajar. Sampai-sampai ia merelakan malam waktu istirahatnya pergi ke rumah ustadz
untuk belajar. Segera ia mengetuk pintu dan mengucap salam yang tak lama
kemudian pintu dibuka oleh Ustadz Shaleh. Percakapan mereka terlalu lama dan
akhirnya membuat Fajar bertanya yang hampir putus asa “Ustadz, saya pernah
mendengar bahwa Allah menciptakan manusia semuanya sama, tapi kenapa saya
berbeda dengan yang lain? Saya tidak pintar, kenyataannya saya sewaktu SD lulus
saja dengan bantuan guru dan sekarang saya tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.
Padahal, saya ingin sekali sekolah, ustadz.” Tak lupa Ustadz Shaleh menjawab
dengan memberi motivasi kepadanya. “Allah menciptakan manusia itu semuanya
sama, hanya yang membedakan adalah iman dan takwa mereka dan Allah tidak
melihat kekurangan fisik dari makhlukNya, tapi Allah melihat iman dari mereka.
Jadi kamu jangan khawatir dan kamu juga jangan pernah menyalahkan Allah, karena
Dia telah merencanakan yang terbaik untuk hambaNya tanpa membedakan sedikitpun,
jadi jangan pernah meragukan kekuasaanNya, Fajar.” Nasihat ustadz penuh sabar. Tanpa
waktu lama, Fajar diajak oleh ustadz untuk ikut membantu beliau menyiarkan
agama dengan baik. Satu-satunya ustadz yang ada di desa ini tidak pernah lengah
mengajari anak didiknya terutama Fajar yang beda dengan yang lain. Dan ustadz melihat
perkembangan Fajar yang selalu semangat untuk menuntut ilmu beliau percaya
kepada Fajar bahwa ia bisa mendidik anak-anak desa untuk mendalami agama islam
dengan benar suatu saat nanti.
Mulai
sore ini, Fajar bersemangat membersamai anak-anak belajar di surau. Seiring
berjalannya waktu, tak lama ia diberi kesempatan berbagi ilmu dengan anak-anak
desanya, warga sudah tidak lagi berniat untuk mengizinkan anak-anaknya ke surau
dengan alasan adanya Fajar, yang menganggap rendah dan tidak percaya jika Fajar
berbagi ilmu dengan anak-anak desa ini. Ya, warga desa memang sudah sejak dulu mengetahui
bahwa Fajar tidak mempunyai otak cerdas dan selalu menganggap rendah dirinya.
Dengan itu, ustadz langsung menginginkan Fajar untuk pergi, menuntut Ilmu di
pondok pesantren nan jauh.
Di
pondok pesantren, bukan hanya agama islam yang disampaikan, tapi bagaimana cara
bertani yang baik dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menunjang kehidupan
mereka. Selain itu, pondok tersebut tak jauh dan tak lain disekitarnya masih
terdapat tanah yang subur, sehingga bagaimana caranya pengurus pondok tersebut
dapat memanfaatkan lahan nan subur itu disamping menimba ilmu agama. Bertani
atau berkebun sudah menjadi mata pencaharian warga terutama warga desa sekitar
pesantren.
Sudah
lama Fajar menimba ilmu di pesantren dan ia merasa sudah cukup, langsunglah ia balik dan mulai menjalankan
misinya untuk pengabdian desanya. Ia jauh lebih baik dari sebelumnya, walau
mungkin ia harus menerima anggapan negatif para warga. Kerumunan warga yang
membicarakan kedatangan Fajar, entah di teras warga atau dimana saja banyak
waga berkumpul. “Memangnya benar yo, kalau Fajar anak dungu niko bar muleh seko
pondok?” “Oh, enggeh ibu-ibu. Kemarin pas kula saking griyanipun Fajar sampun
benten karo zaman biyen. Sakniki sampun koyo orang ‘bener’ niko.” “Tapi saking
pundi artone? Padahal keluargane kan termasuk keluarga termiskin di desa
mriki?” “Denger-denger nggeh ibu-ibu, biaya pondok pesantren niku saking Pak
Ustadz Shaleh.” Bla…bla..blaaaa……… Ya, obrolan ibu-ibu setiap hari. Dengan
tanggapan warga baik positif atau negatif terhadap dirinya, Fajar tidak terlalu
peduli karena terserah apa kata orang, tapi yang pasti ia tidak menyimpang
ketika berbuat atau barucap.
Banyak
warga yang sudah bisa menerima Fajar karena melihat kegigihan dan usahanya
ketika setiap saat giat menyiangi dan bertani di sawah. Selain membantu
orangtuanya di sawah yang mereka garap, ia juga bisa membantu petani lain yang
merupakan warga sekitar untuk memberi ilmu atau cara bertani yang baik. Lalu Pak
Lurah mengadakan pertemuan kecil kepada petani untuk mendapatkan ilmu bertani. Ya,
bangga hati Fajar saat ini diberi kepercayaan oleh orang lain untuk berbagi
ilmu yang sudah ia dapat ketika di pondok beberapa waktu lalu. Dari bagaimana
mengenal tanah yang baik untuk ditanam tumbuhan apa yang cocok untuk tanah itu
dan sesuai musimnya, menyiangi sawah dengan baik, dan sampai mengatur tanah
sehingga dapat membuat tanaman subur serta cara memasarkan hasil tani mereka.
Tak lupa, pupuk yang baik untuk digunakan bertani. Semakin hari, banyak warga
yang datang ke rumah Pak Lurah untuk ikut mengetahui ilmu yang diberikan Fajar.
Tidak
sampai disitu saja ia merubah warga menjadi lebih baik dari dulu dalam segala
hal yang ia ketahui. Selain berbagi ilmu bertani, ia juga mendirikan TPA dengan
progam tahfidz yang sudah didirikan oleh almarhum Ustadz Shaleh. Ya, ketika ia
berada di pondok pesantren, ustadz satu-satunya di desa ini masih bersemangat
ingin membuat moral warga desa menjadi baik sudah menghadap Allah lebih dulu.
Dengan tujuan baik ustadz, ia ingin melanjutkan perjuangan beliau yang mulia itu.
Selama ia berada di pesantren dan ketika Ustadz Shaleh sudah meninggal, banyak
warga terutama anak-anak desa dengan kondisi memprihatinkan. Dari mulainya
televisi yang mulai banyak warga memilikinya, mereka beralih dari sering ke
surau menjadi di rumah untuk melihat televisi dan bersantai-santai tanpa
memikirkan amalan apa yang menjadi bekal di akirat kelak.
Tanpa
menunggu lama, ia segera mengajak warga terutama anak-anak untuk kembali lagi
ke surau menerima ilmu agama seperti sediakala, beberapa tahun lalu. Mungkin
untuk mengajarkan ilmu agama, masih banyak warga yang ragu dengannya, tapi
setelah mendapat himbauan dari pak lurah, warga ada yang dengan keikhlasan atau
keterpaksaan datang ke surau. Setelah mendengar dan mengamati ceramah atau
pencerhan tentang islam oleh Fajar, warga merasa berhutang budi saat memperoleh
keuntungan darinya ketika mendapatkan ilmu bertani, warga menjadi percaya bahwa
Fajar tidak sepantasnya dipandang sebelah mata oleh mereka. “Makhluk Allah yang
sempurna tak lain adalah manusia, kita. Karena kita diberi akal untuk berpikir
bagaimana agar kita senantiasa ada dijalanNya.Selain itu Allah menciptakan
manusia tidak selamanya baik atau selalu mempunyai kelebihan, tapi pasti, setiap
manusia mempunyai kekurangan. Entah dari segi apa kekurangan itu muncul.
Mungkin, dari cara berpikir manusia yang lemah atau mungkin kekurangan fisik
sekalipun. Namun, dibalik itu semua Allah telah merencanakan yang indah untuk
hambaNya. Dengan demikinan, tinggal bagaimana kita dapat menghargai kekurangan
orang lain dan tidak menyombongkan kelebihan yang ada atau yang kita miliki.”
Begitu sedikit pencerahan darinya untuk warga yang datang di surau kecil yang
penuh dengan ketenangan.
“Sesungguhnya
Kami memelihara kamu dari pada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan
(kamu)” kalimat ini merupakan satu ayat alquran yang selalu Fajar pegang, apalagi
disaat teringat perkataan warga desa dulu padanya. Tak ada salahnya jika memupuk
asa mulai dini walau dalam kondisi apapun. Biar orang berkata mustahil pada
diri kita, tapi jika setelah kita dapat menerima hasil disaat kita memupuk asa penuh
semangat mengabdi dengan hati dan hasil itu menjadi manfaat untuk orang lain,
maka kata mustahil yang dilontarkan orang lain akan berubah menjadi nyata. Tak
akan bisa orang mendapatkan apa yang diinginkan tanpa diiringi tekad dan
semangat layaknya pemuda seperti Fajar di tengah keterbatasannya ia tetap
semangat layaknya sang fajar ketika mulai terbit untuk menyinari seisi alam
*MASRUROH, anak kedua dari dua bersaudara 19 tahun silam ini lahir di Sukoharjo, 19 Januari 1995. Putri dari bapak Satirno dan Ibu Sri Wastini ini sekarang melanjutkan ke Peguruan Tinggi Negeri yang diimpikan dan sekarang sudah semester 3 jurusan Sastra Indonesia. Dengan nama pena Ghaziya Masruroh yang berarti Perjuangan yang membawa kegembiraan ini mulai gemar menulis sejak SMP yang termotivasi dari beberapa penulis yang bisa sukses dengan tulisannya.
*MASRUROH, anak kedua dari dua bersaudara 19 tahun silam ini lahir di Sukoharjo, 19 Januari 1995. Putri dari bapak Satirno dan Ibu Sri Wastini ini sekarang melanjutkan ke Peguruan Tinggi Negeri yang diimpikan dan sekarang sudah semester 3 jurusan Sastra Indonesia. Dengan nama pena Ghaziya Masruroh yang berarti Perjuangan yang membawa kegembiraan ini mulai gemar menulis sejak SMP yang termotivasi dari beberapa penulis yang bisa sukses dengan tulisannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar