Selasa, 03 Februari 2015

Balada Ikhwan Genit

 Karya : Apri Andayani*



            Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impian kan tercapai
            Singsingkan lengan baju dan bersung-sungguhlah menggapai impian
            Karena kemulian tak akan bisa diraih dengan kemalasan
            Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan
            Karena debat kusir adalah pangkal keburukan
          

            Lina membaca syair Sayyid Ahmad Hasyimi yang terpampang di layar HP-nya, ia tersenyum sendiri. Bukan. Bukan karena isi syair itu dia tersenyum, tapi ia tersenyum disebabkan membaca nama sang pengirim SMS syair itu. Rona wajahnya memerah, seolah semua aliran darah merah berkumpul mengerubuti wajah innocent-nya.

            Sudah satu semester ini dia selalu dijalari rasa yang berpendar-pendar di dadanya. Tepat beberapa menit menjelang adzan magrib dikumandangkan, Lina selalu terpaku memegangi HP, rasa di dadanya semakin bergemuruh saat membaca bait demi bait kata bijak yang dikirimkan seorang mahasiswa senior di kampus. Sensasi SMS dari senior ini sering hadir dalam hari-harinya, terkadang sensasi itu ikut menggelayut dalam mimpi-mimpi tiap malamnya. Akhi. Sigit, begitu ia selalu mengeja nama pengirim SMS itu.
            “Nduk, Lina… Lin… Nduk…”  Pintu kamarnya digedor dari luar, lamunannya luruh seketika. “Nggeh buk…” ia menjawab panggilan ibunya sambil menggerutu dalam hati, ‘Lagi berbunga-bunga kok diganggu, huh’
            “Sudah mau adzan Isya’ lho. Kamu apa ndak ambil wudhu buat sholat maghrib. Denger adzan kok malah ndekem di kamar to nduk.”
            Lina bangkit seketika dan melempar HP yang ia pegang serampangan. ‘Astaghfirullah, gara-gara keasyikan membaca SMS dari Akh. Sigit hampir saja kehabisan waktu maghrib’ Secepat mata berkedip ia lari mengambil air wudhu.
©©©
            Embun subuh kembali membasahi rerumputan, gigil dingin digantikan aroma hangat sang mentari. Cericit burung berorkestra melantunkan sapaan selamat pagi pada dunia. Lina sudah siap dengan segala belanjaan dari pasar, ia tak boleh terlambat sampai rumah, nasib katering ibu berada di tangannya. Kalau belanjaan yang ia bawa pagi ini terlambat sampai, alamat pesanaan sosis basah dari Bu Kasmo bakal berantakan. Ia memacu sepeda motornya secepat mungkin, hari ini juga ia ada kuliah pagi.
            Sisi barat rumahnya sudah ramai, suara sendok beradu dengan penggorengan dan desis api gas elpiji. Di dapur, ibu Siti sudah beraksi dengan tiga ‘asisten’ nya. Dengan menyingsing sisi gamisnya, beliau mencicipi adonan bakwan yang sedang diuleni.
            “Buk, Lina buru-buru nih. Ada kuliah pagi, dosennya terkenal suka kasih kuis jadi Lina ndak boleh telat.” Terang Lina sambil meletakkan tas belanjaan di meja dapur. Ibu hanya mengangguk sambil tetap khusyuk dengan aktifitasnya. Lina segera gowes ke kampus.
©©©
            “Lin, nanti ada rapat UKM nih. Kamu datang kan?” tanya Rara, teman sekelas dan partner se-UKM Lina.
            “He-eh. InsyaAllah.”  Lina menjawab sambil membayangkan nanti pasti asyik bisa ketemu temen-temen, diskusi agama bareng dan tentu yang paling ia nanti adalah bertemu dengan si pengirim SMS yang rajin kirim syair itu. Lina melamun sendiri di tengah dosen yang sedang menerangkan mata kuliah filsafat umum.
            “Nanti setelah rapat kamu ke kost ku, ya. Kita selesain paper Sejarah Peradaban Islam.” Lanjut Rara yang ditanggapi Lina dengan anggukan acuh, maklum Lina masih asyik melamun.
©©©
Di sudut kamar kost Rara
Allah selalu memberikan senyum dibalik kesedihan. Allah selalu memberikan Harapan dibalik keputus-asaan.. Ingatlah.. Allah selalu memberikan kelebihan dibalik kekurangan.. Allah selalu memberikan Kekuatan dibalik kelemahan.. Kita punya RENCANA. Allah juga punya RENCANAkan tetapi sehebat apapun kita merencanakan sesuatu. Tetap rencana Allah adalah sebaik-baiknya rancangan.
Nada dering pesan di HP Rara berbunyi, ia membaca sekilas. Oh, SMS tausyiah dari mas Sigit, ‘Ikhwan satu ini kok rajin amat kirim SMS. Oh mungkin buang bonus.’ Batinnya. Ia meletakkan HP dikasurnya, ia keluar kamar ingin membeli kertas HVS untuk paper mata kuliah SPI, meninggalkan Lina yang masih asyik berkutat dengan laptopnya.
Nada pesan di HP Rara bertalu-talu lagi, beberapa pesan sepertinya masuk secara memberondong. Lina yang sedang khusyuk dengan laptopnya merasa terusik dengan HP Rara yang berbunyi. Rara juga tak kunjung balik ke kamar kost, siapa tahu isi SMS yang baru masuk ini penting, Lina jadi penasaran. Ia akhirnya membuka kotak masuk di HP sohibnya itu.
Sesungguhnya SABAR akan indah jika kita selalu dekat dgn ALLAH. Karena hidup ini terlalu singkat dan berharga jika di buang dengan orang yang TIDAK TEPAT (bukan jodoh kita)... Lebih baik MENUNGGU orang yang benar-benar kita harapkan.. Daripada menghabiskan waktu dengan orang yang tidak tepat.. YA RABBANAA. Yg kami inginkan hanyalah kesempurnaan cinta_MU.. Karena hanya begitulah tidak akan ada rasa terluka dan kecewa pada akhirnya..
Betapa kaget jantungnya, matanya terbelalak membaca SMS yang baru masuk di HP Rara adalah pesan dari Akhi. Sigit. Lina mengecheck inbox Rara yang lain, mayoritas isi kotak masuk itu adalah SMS syair atau tausyiah dari Akh.Sigit. Dadanya serasa digodam, ternyata Rara diam-diam juga sering SMS-an dengan Akh. Sigit, padahal Rara tahu bagaimana perasaan Lina selama ini pada Akh. Sigit.
Pintu kamar kost terkuak, “Sorry lama, Lin. Tadi ketemu temen-temen UKM, eeeh keasyikan ngobrol malahan.” Adu Rara.
“Oh, ketemuan sama Akhi Sigit to? Jangan-jangan sambil ditraktir sama dia juga kamu.” Lina menyalak dengan ketus.
“Maksudmu?” Kening Rara berkerut, ia bingung kenapa tiba-tiba Lina yang selama ini ia kenal sebagai pribadi periang dan lembut menjadi ketus begitu.
“Alaaah. Jangan pura-pura deh Ra. Kamu ada hati kan sama Akh.Sigit. Kamu tega banget ya, kamu kan tahu gimana perasaanku selama ini ke dia.”
“Aduh, tunggu-tunggu. Kenapa kita jadi ngomongin Mas Sigit sih?”
“Tuh, HP mu bunyi terus. Ternyata kamu sering SMS-an sama dia kan. Kamu itu temen makan temen, Ra.” Isak satu-satu mulai menyertai ucapan Lina.
“Tunggu Lin, aku jelasin dulu. Ini ndak seperti yang kamu sangka.”
“Sudahlah, aku mau pulang.” Lina bergegas keluar kamar tanpa bisa diantisipasi Rara. Tinggal Rara terduduk lemas meremas HPnya. Persahabatan yang sudah tiga tahun ia bina dengan Lina menjadi runyam detik itu.
            ©©©
            Senja yang kuning, Rara duduk sendiri sambil membolak-balik diktatnya. Pikirannya sedang kalut, sudah dua hari ini Lina tidak mau diajak bicara, Lina selalu saja menghindar bila berpapasan dengannya. BBM ndak dibales, SMS apalagi, pesan di FB juga diacuhkan.
            “Tumben sendirian, ukh. Ukhti Lina mana? Biasanya kalian lengket kemana-mana berdua.” Suara milik sesorang itu mengagetkan Rara. Ia menoleh, ternyata Mbak Dita, mentornya di UKM, berdiri tepat di sisi kanan kursi taman.
            “Eh, Mbak. Anu, emmm.. Lina… Lina… emmm, kita lagi nggak barengan.”
            “Lho, kenapa? Ada masalah? Kalian berantem?”
            “Itu dia Mbak, kita sudah dua hari diem-dieman. Padahal sesama muslim batas diemannya kan hanya tiga hari.” Keluh Rara, lalu ia merasa perlu meminta solusi pada Mbak Dita yang terkenal bijak itu. Rara menceritakan secara rinci musabab ia berantem dengan Lina tempo hari.
            “Astaghfirullah. Sekarang ini sedang musim ikhwan genit, sukanya mengobral SMS manis pada akhwat. Bisa jadi kalian terkena, Mbak rasa kita perlu mempertemukan kalian bertiga.” Jelas Mbak Dita mencoba melerai masalah, Rara ngikut saja bagaimana baiknya.
©©©
            Kelengangan di ruang rapat UKM ini membuat Lina semakin rikuh. Batinnya bertanya kenapa juga Mbak Dita mengumpulkan dia dengan Rara dan Akhi Sigit di ruangan ini. Jangan-jangan…
            Belum sempat Lina menuntaskan prasangkanya Mbak Dita sudah angkat bicara menginterograsi Akh. Sigit.
            “Akh. Afwan sebelumnya, apa selama ini antum terbiasa mengirimkan SMS motivasi atau tausyiah kepada teman-teman?” Usut Mbak Dita.
            “Na’am, Ukh. Saya sering sekali berbuat demikian.”
            “Lantas, apa motivasi antum mengirimkan SMS itu?”
            “Emm, yang pasti saya sayang kalau bonus SMS yang ditawarkan operator hangus begitu saja. Selain itu saya juga berfikir akan bermanfaat kalau bonus SMS tadi saya gunakan untuk memotivasi teman-teman via SMS.” Terang Akh. Sigit sambil sesekali meremas ujung pecinya.
            “Nah, lantas siapa saja yang biasanya antum kirimi SMS itu?” Intograsi Mbak Dita semakin mengerucut.
            “Emm, mayoritas para akhwat. Karena saya beranggapan akhwat itu sering galau, futur dan sangat perlu sering dimotivasi.”
            “Jadi bukan hanya satu akhwat saja yang antum SMS-in?” Akhi Sigit mengangguk layu menanggapi pertanyaan Mbak Dita.
            “Lha, ini titik kesalahan antum. Perlu antum ketahui, dua akhwat yang sedang disini ini terkena korban SMS antum tadi. Akhi, hati wanita itu sangat lembut. Saking lembutnya ketika ada seorang laki-laki memberikan perhatian secuil saja, lewat SMS sebagaimana yang antum lakukan, tanpa fikir panjang wanita akan menyangka laki-laki itu menaruh rasa cinta padanya. Padahal bisa jadi laki-laki itu bertipe supel pada semua wanita, ia berlaku perhatian pada semua wanita di dekatnya sedang akhwat yang terlanjur menyangka antum punya harapan tadi mengira hanya dia seorang yang diperhatikan. Wanita memang sangat suka diperhatikan, jadi tolong Akhi, hati-hati dengan celah ini. Akan lebih aman jika antum mengirimkan SMS motivasi tadi pada sesama jenis, sesama ikhwan yang SMS tentu akan terhindar hal-hal yang tidak diinginkan.”
            Akhi Sigit menunduk, Lina dan Rara juga demikian. Lina baru tahu bahwa selama ini dia terlalu GR. Menyangka Akhi Sigit hanya perhatian dengan dirinya, padahal pada semua akhwat dia berlaku demikian.Ya Allah hampir saja ia memutuskan tali persahabatannya dengan Rara hanya karena GR yang overdosis. Seketika itu juga ia memeluk Rara, berulang-ulang minta maaf. Benar, memang Cinta yang belum saatnya hanya akan membawa kemungkaran. Akhi Sigit meminta maaf atas ‘kecentilannya’, Mbak Dita tersenyum dan insyaAllah yang bertahta di Arsy juga ikut tersenyum. ***

*Apri, demikian ia disapa. Purna masa SMA 2010, ia melepaskan kesempatan kuliah di salah satu universitas negeri ternama di Solo lantas bergabung dengan Majalah Wanita MTA, Al-Mar’ah hingga detik ini. Untuk menajamkan mata penanya ia terus mengikuti berbagai lomba,  puisinya yang berjudul ‘Aku Tak Mengharap Cintamu lagi’ pernah dimuat di majalah remaja MOP (2007), baru-baru ini ia menjuarai lomba penulisan artikel yang diadakakan P3MBTA (Pusat Pelatihan dan Pembelajaran Muhadharah dan Baca Tulis Al-Qur’an) IAIN Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar