Oleh : Hasan Musthofa*
Sejarah mencatat ada banyak komunitas
utopian yang pernah eksis dalam peradaban umat manusia. Ada yang sebatas
pemikiran filsafat macam Plato dengan Republic-nya
dan Benedict Anderson dengan bukunya yang masuk ruang-ruang diskusi intelektual
di Indonesia, Imagined Community. Pun
juga dengan secara konkrit mendirikan koloni Utopian Community seperti Oneida, Shaker, dan Brook Farm, New
Harmony, dan sebagainya. Sejarah pula mencatat bahwa tak satupun dari mereka mampu
mewujudkan apa yang mereka harapkan sebagai “a new social pattern based upon a vision of
the ideal society”.
Tatanan dunia baru yang ideal sesuai dengan yang diharapkan dan diimajinasikan.
Hanya saja, sejarah juga menggariskan fakta
bahwa pada suatu zaman ada seorang pemuda bergelar Al Amin yang dengan selembar
kain berbentuk segi empat mampu meredam pertikaian 4 negara besar yang berkuasa
di tanah Arab dan saling mengklaim paling berhak untuk merawat Ka’bah, ikon
kekuasaan jazirah Arab pada saat itu. Kelak, pemuda bernama Muhammad bin
Abdullah ini mampu mewujudkan tatanan dunia baru yang lebih terang benderang,
jauh melebihi apa yang dibayangkan manusia pada zaman tersebut tentang sebuah
kemajuan peradaban.
Utopia
Kata “Utopia” sendiri, berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, merupakan pulau impian yg dilukiskan dalam buku berjudul Utopia, diterbitkan oleh Sir Thomas More
tahun 1516, di pulau itu dibayangkan adanya sistem sosial politik yang sempurna.
Sedangkan “utopi” berarti sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam
bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan yang
sebenarnya.
Munculnya kata ini merujuk pada eksisnya
koloni-koloni yang muncul di abad 18-19 M dengan anggota terbatas dan cakupan
wilayah yang tidak membaur pada masyarakat kebanyakan. Tujuan koloni ini adalah
mendirikan tatanan masyarakat baru sesuai dengan apa yang akal mereka bayangkan
dan inginkan. Pada akhirnya, koloni-koloni tersebut hancur karena memang apa
yang mereka impikan terhadap koloni itu tidaklah mungkin terwujud, dan impian mereka
hanya akan tetap menjadi impian belaka. Maka disebutlah mereka itu dengan
sebutan utopi- utopia - utopis - utopian.
Sekali lagi, komunitas ini disebut “komunitas
utopian” karena impian mereka untuk membentuk sebuah tatanan dunia baru sesuai
dengan yang mereka impikan dan imajinasikan, dengan berbagai cara, salah
satunya dengan mendirikan koloni-koloni.
Di antara komunitas utopian kuno yang masih
dapat terlacak hingga saat ini adalah Amana Colonies, Oneida, Shaker, Brook
Farm, New Harmony, dan sebagainya. Konsepnya, koloni yang mereka dirikan
memiliki bentuk dan tatanan sesuai yang diinginkan dan diimajinasikan oleh
angotanya. Dalam contoh yang ekstrim adalah munculnya Oneida Community. Anggotanya
memiliki impian akan kebebasan. Berlokasi di New York pada tahun 1848, Koloni
Oneida menolak monogami sekaligus membuat diri mereka sendiri saling menikahi
satu sama lain dan mereka menyebutnya dengan “complex mariage”. Artinya, satu
dengan yang lainnya boleh berhubungan dengan siapapun yang mereka mau, tanpa
pernikahan, dan tanpa ada kepemilikan. Setiap keputusan tentang kelahiran bayi
pun diatur oleh komite khusus. Komunitas ini mendambakan kepemilikan bersama
atas aset dalam bentuk apapun. Setiap anggota yang bergabung, semua yang
dimiliki menjadi kepemilikan bersama. Pada akhirnya, koloni ini juga tidak
mampu bertahan, apalagi mampu mewujudkan tatanan dunia baru sesuai dengan
keinginan mereka.
New Harmony (1825-1829), anggotanya berisi
para ilmuwan yang hendak mempelajari sains dan filosofi alam secara natural,
sehingga mereka anti kemodernan dan kehidupan kapitalis. Anggota koloni ini
bepergian dengan kapal boat untuk mencari ilmu pengetahuan, sehingga mereka
menyebutnya dengan Boatload of Knowledge.
Komunitas ini bertahan sekitar 4 tahun sebelum akhirnya kolaps karena
perselisihan perebutan harta antar para ilmuwan yang ada di dalamnya. Akhirnya,
dunia baru yang mereka idamkan pun juga sirna.
Tercatat, sejak tahun 1800 M, di Amerika ada
ratusan komunitas yang mendirikan “koloni utopia” yang setipe dengan Oneida dan
New Harmony. Semua gagal menghadirkan dunia baru yang diidamkan dan diimpikan. Dan
jauh sebelum itu Plato, ratusan tahun sebelum masehi, seorang filsuf Yunani
kuno, juga pernah mengemukakan gagasannya tentang tatanan dunia yang
diidamkannya, dengan tulisan berjudul Republic.
Lewat Republic, Plato mengimajinasikan sebuah Negeri Yunani
yang ideal, dengan kehidupan komunal berjalan di atas hukum yang berjalan tegak.
Hanya saja, singkatnya, imajinasi Plato hanya menjadi sekadar imajinasi, karena
Yunani tidak berkembang menjadi negara besar dan ideal sebagaimana Plato
bayangkan.
Pun juga dengan Benedict Anderson, Imagined Community-nya tidak mampu
diterapkan oleh negara-negara di dunia manapun. Imagined Community yang berisi konsep ideal negara - bangsa – nasionalisme. Menurutnya,
nasionalisme adalah modal utama dalam keberlangsungan sebuah negara. Dan
nasionalisme muncul dengan pendekatan penghapusan pemerintahan ilahi (berbasis
agama) dan monarki (kerajaan). Rasanya Ben Anderson lupa bahwa ada pemerintahan
berbasis ilahiah yang pernah menguasai dunia, menebarkan kebajikan di seluruh
pelosok, dan menghasilkan peradaban unggul. Ya, pemerintahan khilafah islamiah.
Baik Plato, Ben Anderson, maupun para
komunitas utopian pada akhirnya tidak mampu mewujudkan apa yang mereka harapkan
sebagai tatanan dunia baru yang ideal menurut pandangan dan imajinasi mereka
sendiri. Rupanya konsep tatanan masyarakat yang dibangun tidak mampu
mengantarkan koloni yang dibentuk untuk berkembangan dan melintas zaman
sekaligus bertahan terhadap ideologi dan idealisme lain yang berseberangan.
Akhirnya mereka runtuh dalam waktu yang relatif singkat, jauh sebelum tatanan
yang diimajinasikan dapat terbentuk sempurna. Rasanya, semuanya menjadi utopi
yang nikmat menjadi dongeng imajinasi anak sebelum tidur.
Muhammad
anti-utopian
Secara de
facto, Muhammad muda adalah raja tanpa mahkota di tanah Arab, di usianya
yang masih tergolong muda. Perpaduan sempurna manusia kekasih Allah SWT,
mendapatkan gelar dan kedudukan tinggi dari Bangsa Arab dengan julukan Al Amin.
Dengan kecerdasan dan kebijaksanaan yang luar biasa, dengan secarik kain
persegi, ia mendamaikan 4 kubu Arab yang hampir berperang berebut untuk
mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya. Pada masanya, Muhammad muda adalah Satriya piningit bagi Bangsa Arab, maka
tidak heran suatu saat Muhammad akan diberi imbalan berupa kedudukan sebagai
raja dan berhak memilih wanita yang paling dia sukai asal dia tidak menganut
agama tauhid yang diwahyukan kepadanya.
Dari sinilah sejarah baru dimulai. Sebelum
Muhammad bin Abdullah lahir, Ka’bah adalah pusat agama pagan dan penyembah
berhala. Di sekelilingnya berdiri ratusan patung sesembahan bangsa Arab yang
dipuja-puji agar mendatangkan keselamatan. Mereka percaya adanya Allah, namun
mereka tetap menyembah berhala buatan tangan mereka sendiri yang diberi nama-nama
sesuka hati.
Muhammad, yang telah diramalkan jauh hari akan
menjadi rasul terakhir untuk umat manusia, telah memiliki peran besar bagi
bangsa Arab bahkan ketika umurnya belum menginjak 40, umur kenabiannya. Muhammad
adalah penggembala dan pedagang yang jujur, memiliki jiwa kepemimpinan yang
tinggi, sekaligus dicintai oleh semua orang, serta dibanggakan oleh Bani Hasyim,
bangsawan leluhur Muhammad dari Abdul Muththalib.
Muhammad bukanlah Plato, bukan juga Utopian Community, bukan juga Ben Anderson
yang hidup dalam imajinasi utopianisme. Muhammad telah sejak lama merenung
memikirkan kaum Arab yang mengaku memiliki peradaban tertinggi namun
berperilaku badui dan tidak mengenal etika. Gengsi dijunjung
setinggi-tingginya, bahkan lebih berharga dari nyawa manusia sekalipun. Kesombongan
menjadi baju para bangsawan Arab yang musyrik.
Muhammad adalah model bagi bangsa Arab tentang
bagaimana menjadi manusia yang seharusnya. Mentalnya yang kuat mempu membendung
pengaruh negatif kaum jahiliyah terhadap dirinya sendiri, bahkan mampu mengubah
masyarakat rusak menjadi masyarakat yang tercerahkan. Ibarat ikan,
seasin-asinnya air di laut, dia tidak akan ikut menjadi asin.
Karakter jujur, cerdas, dan beretika adalah
kontribusi utama Muhammad untuk merubah tatanan masyarakat yang telah rusak. Rupanya,
jiwa pemimpin memang tidak secara instan terbentuk. Muhammad yang menjadi Rasul
SAW di usia 40 tahun, masa mudanya tidak dipenuhi dengan hura-hura dan
kesenangan. Umur 40 bagi Muhammad SAW hanyalah titik tolak kenabiannya,
sedangkan jauh sebelum mencapai usia itu, Muhammad muda telah dipersiapkan agar
bisa menjadi pemimpin yang benar-benar mampu menghidupkan peradaban yang penuh
kejayaan. Memandang Muhammad SAW hanya sejak umur 40 adalah pandangan yang
terlalu sempit, mengingat bakat kerasulannya juga telah ditempa bahkan sejak
Muhammad masih balita.
Muhammad adalah ikon kebudayaan Arab yang
terjaga, kemurnian bahasanya masih utuh, karena dia diasuh oleh Halimah
Sa’diyah seorang perempuan desa yang tidak terkotori gemerlap kesenangan dunia
Bangsa Arab. Muhammad muda jauh dari dunia hiburan yang dinikmati teman-teman
sebayanya. Muhammad selalu tertidur di tengah jalan ketika teman-temannya
hendak mengajak menonton hiburan di pasar. Dan, Muhammad muda tidak pernah melakukan
perbuatan tercela yang menjadi adat kebiasaan bangsa Arab; minum, judi, dan
menyembah berhala.
Muhammad
muda dalam konteks kekinian
Memandang Muhammad sebagai manusia suci yang
mustahil ditiru kepribadiannya adalah salah. Bahwa Muhammad SAW pernah
melakukan kesalahan, dalam konteks ini menandakan bahwa dia bukanlah malaikat,
sekaligus menandakan bahwa dia adalah manusia seperti pada umumnya. Kesalahan
yang dilakukan Muhammad SAW adalah deklarasi bagi manusia sesudahnya bahwa dia
adalah suri tauladan yang sebenar-benarnya, bahwa menirunya bukanlah sesuatu
yang mustahil.
Pemuda masa kini, dihadapkan pada pilihan yang
serba indah. Dan di sinilah beratnya menjadi pemuda masa kini. Sepanjang mata
memandang, semua terbentang keindahan yang mengalihkan hati dan niat dalam memegang
akidah dan akhlaq yang lurus. Di tengah gemerlap kehidupan inilah pemuda masa
kini ditantang untuk berkontribusi dan berpartisipasi untuk menyembuhkan
peradaban yang telah rusak.
Muhammad Al Amin dapat menjadi inspirasi bahwa
untuk mengembalikan tatanan dunia pada aturan norma dan etika dibutuhkan waktu
panjang, dengan mempersiapkan diri sejak masih kanak-kanak-muda-dewasa. Pada
akhirnya, Muhammad SAW dengan wahyunya mampu mewujudkan tatanan dunia yang
berperadaban tinggi, yang bahkan masyarakat pada saat itu tidak pernah
membayangkan sedikitpun gemerlapnya.
Jika memang pada saat ini belum ada yang mampu
diberikan untuk masyarakat, maka kontribusi terbaik yang bisa diberikan adalah
dengan menjadikan diri-sendiri sebagai manusia yang tidak merusak dan
membebani. Jika hendak memperbaiki tatanan masyarakat yang telah rusak, minimal
harus disadari bahwa sejak masa musa harus sudah mempersiapkan diri, menempa
pribadi yang lebih baik, berkarakter mulia dan beretika tinggi. Muhammad Al
Amin SAW memang telah tiada, namun nilai-nilai yang ditinggalkannya masih
sangat relevan dan konstekstual dengan kondisi kekinian. Oleh karena itu adalah
mutlak benar adanya jika dia adalah Uswatun Khasanah bagi setiap orang. Muhammad
Al Amin adalah ikon pemuda yang dipersiapkan untuk memperbaiki tatanan yang
rusak dan menghasilkan peradaban yang lebih baik di masa mendatang. Dan kita,
pemuda, tidak perlu mencari model yang lain. Cukuplah Muhammad Al Amin SAW
sebagai panutan dan tauladan.
*Hasan Musthofa. Belajar
menulis ketika menjadi Pemimpin Umum Lembaga Pers UNS, mengikuti beberapa
pelatihan jurnalistik seperti Investigative Journalism di Padang, Solopos, dan
sebagainya.
Saat
ini menjadi staf pengajar di Yayasan Pendidikan dan Perguruan Veteran Sukoharjo
dan sedang mendalami kurikulum pendidikan kejuruan di Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar