Rabu, 22 Juli 2015

Cinta, Indah Nian Jilbabmu

 Karya: Nissa Asy-Syifa’
 
“Lepaskan kerudungmu itu sekarang juga!”
“Tidak, aku muslimah, aku bersyahadat atas nama Allah dan Rasul yang diutusnya, sekali-kali aku tidak akan mengkhianati Nya meski isi senapanmu memburaikan isi  kepalaku.”
“Baiklah, rasakan ini wanita bodoh!”
DOOOR...!!!
“Allahu Akbar, Laillaha ilalloh.”
Sunyi.
Kampung Muarakole menjadi kampung neraka yang keji. Bau anyir darah manusia berbaur dengan asap dari api yang membakar rumah warga semakin menyesakkan pernafasan. Gerimis sore mulai menguyur diantara puing-puing tembok yang hancur. Api memadamkan diri setelah hujan semakin rapat menguyur. Menjelang magrib. Irama hujan berhenti layaknya iringan biola yang menambah kegelisahan di hati cinta. Tanpa kilau warna pelangi. Tanpa desiran sepoi angin yang mengeringkan gerahnya hati.
Cinta.
Masih saja mendekap hangat tubuh yang kaku itu. Dia tersenyum. Manis sekali. Meski jilbab yang dikenakan telah compang-camping dan percikan darah disana-sini.
“Kini kakak, berati adik harus berjuang hidup sendiri.” Cinta, dia tak menangis sedikitpun. Sekali lagi ia kecup pipi kakaknya yang mulai membiru dan semakin dingin.
Pagi tadi. Segelas susu hangat telah tersedia di meja.  Kakak. Telah cantik dengan jilbab putih yang terurai. Hari ini adalah hari perayaan Idul Adha. Aku berjalan beriringan disampingnya. Semua wajah-wajah kaum muslimin tampak bahagia. Ini adalah hari dimana semua umat muslim melaksanakan sholat Ied hari raya Kurban. Setelah itu akan disembelihlah kambing dan sapi yang telah dipersiapakan di dekat masjid-masjid.
Takbir pertama dikumandangkan. Semua khusyuk.
Namun, entah darimana datangnya tiba-tiba terdengar suara yang memekakkan telinga.
“Serang!”
“Bunuh!”
“Bakar!”
Suasana mencekam. Orang-orang yang memakai penutup muka hitam itu dengan parang, panah, pistol, tombak menghujani orang muslim yang tidak memegang senjata apapun. Suara jeritan, tangisan, dan darah yang memuncrat dimana-mana menjadi satu. Aku melihat tubuh kakakku diseret oleh orang yang memakai senapan dan kulihat juga tato seperti bintang di lengan kiri orang itu. Aku mencoba mengejarnya. Sesekali  tubuhku terjatuh tersandung oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah. Tiba-tiba sebuah tangan yang keras mencekeram leherku. Tubuhku terayun di udara. Aku sulit bernafas. Rupanya tangan itu mencekik leherku. Dan semakin keras. Hingga aku merasakan gelap dan suara-suara di sekelilingku mulai terdengar kabur.
Hujan ini rupanya telah menyadarkanku. Aku mencarinya. Diantara tumpukan mayat manusia yang bergelimpangan. Oh, disudut sana rupanya. Wajah cantik itu tak berubah adanya. Jilbab yang masih melekat  di wajah cantik kakak masih terurai begitu anggunnya.
Rintik desah angin
Syuuut... Syuut....
Menusuk sumsum bagi jiwa yang belum terlepas dari raga
Cinta?
Allahu akbar, siapakah yang masih bernyawa diantara tubuh manusia kaku ini...!
Aku terbangun oleh kehangatan matahari yang menyibak dinginnya bau anyir darah manusia pagi ini. 24 jam sudah. Apakah aku sudah mati. Ah... sepertinya tidak, aku masih hidup. Karena aku merasakan nyeri yang sangat disekujur tubuh. Terutama dihatiku, yang telah di cabik oleh srigala bermata liar bersimbol itu. Dengan segala daya aku mencoba berdiri. Mencari sisa-sisa tenaga segelas susu yang kakak sediakan kemarin pagi.
Kota ini lebih mengerikan dari cerita-cerita kastil drakula yang pernah kudengar. Semua sepi. Mati.
“Kau, Cinta?”
“Puji Tuhan, kau masih hidup anakku. Mari nak, sini nak, ikutlah denganku. Kuantarkan kau ke tempat penampungan pengungsi.”
Aku mengikuti langkah wanita berambut ikal berjuntai nan kusut itu, ke tempat yang ternyata banyak kujumpai pengungsi kekejaman perang ini.
“Istirahatlah, kau bisa kami rawat bersama pengungsi disini. Lihat lukamu, akan kami cuci dahulu agar segera kering.”
“Tak perlu, luka di kulit dan tulang ini hanya goresan kecil. Luka yang aku derita tak kan sembuh oleh balutan kain kasa dan obat merah. Tapi ijinkan aku untuk ikut serta dalam barisan belakang mujahidin pertahanan untuk sekedar merawat luka tembakan para mujahidin.”
“Tentu, anakku, tentu.”
“Siapa kau?”
“Masyarakat sipil yang ikut mengungsi.”
“Siapa yang kau bela?”
“Aku melindungi keluargaku.”
“Kau muslim?”
“Ya, aku muslim.” Jawabnya dengan lirih.
“Tidakkah kau ingat, siapa yang membela agama Allah maka Allah akan memenangkan.”
“Tapi kau tak mengerti, apabila aku mengaku muslim maka seluruh adik-adikku akan di rebus hidup-hidup.
“Ishadu bi ana muslimun ya Ukhty!”
“Diamlah kalian, serigala hitam berhasil mengetahui persembunyian kita!” Teriak perempuan yang tadi mengenakan kerudung hitam kumal kemudian buru-buru di lepas.
“Kenapa kau lepas jilbabmu wahai Ummi.”
“Aku tak ingin anak-anakku akan di tombak menjadi satu apabila aku mengaku seorang muslimah.”
DOOR...DOOR..DOOOR.....!!!
“Cinta, segera lepas jilbab dan himarmu. Kau akan di bunuh nanti.”
“Kenapa aku harus melepas!”
“Karena mereka hanya akan membunuh muslimah yang memakai kerudung.”
“Wallahi, Sungguh Allah dan Rasul Nya lebih aku takuti dari sekedar ujung senapan mereka.”
“Tapi cinta, kau akan mati.”
“Betapa indahnya Asiyah yang mati berserah diri atas nama Allah Azza Wajalla, Sumayah yang gagah berani dan syurga adalah lebih ia banggakan dari kehidupan dunia. Kita muslimah ya Ummi.”
BRAK!!
“Pintu di dobrak dengan paksa.”
“Siapa diantara kalian seorang muslimah!”
“Ya cinta, cepat bukalah jibabmu. Sungguh kau mati dalam usia muda apabila kau masih mengenakan kerudung.”
“Tidak akan, demi Allah yang semesta dalam gengaman-Nya aku akan menghadapi mereka.”
“Tidak cinta.”
Suara erangan serigala hitam semakin mengeretak.
“Siapa diantara kalian muslimah!”
“Wahai musuh Allah. Aku adalah muslimah. Dalam aliran darahku mengalir kalimah syahadat Laillahaillah Muhammadar rasulullah. Kau tak akan merampas kesucian kami.”
“Hahaha....baik, kau tak akan ku bunuh, tapi buka kerudung yang menutup tubuhmu itu, maka kau kuanggap sebagai warga sipil dan tidak akan kami bunuh.”
“Seadainya kalian menyiksaku dengan tusukan seribu belati, sungguh itu lebih muslimah senangi dari sekedar mengakui pemberian hidup darimu wahai musuh Allah.”
“Sombong sekali rupanya kau bocah kecil!”
“Aku adalah pembela agama Allah wahai syetan!”
Dooor....!
Door......!
Dor........!
Tiga pelor menembus tepat di kepala dan dada cinta. Dara memuncrat, mengubah putih jilbabnya menjadi merah darah.
Subhanallah, adakah kekuatan yang Allah berikan kepada cinta.
Allahu akbar...
Allahu akbar...
Allahu akbar...
Laa Illaha illallah....
Tubuh muda berusia 16 tahun itu rebah diantara kaki-kaki jahanam bersepatu baja hitam.
Dan langit berwarna merah saga bermuram, gemerutuk gigi-gigi alam mengutuk cengkraman syetan yang masih bercokol di bumi suci. Cinta, muda usiamu, namun kau adalah sebutir permata diantara buih lautan. ***
 
Diambil dari blog pribadi milik Nissa Asy-Syifa yang merupakan anggota Forum Penulis Muda MTA: http://senyum228.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar