
Apabila kita layangkan di sekitar,
tentu banyak kita temui entertainment tak hanya berhenti di dalam kotak ajaib
bernama telivisi, namun entertainment mulai merambah ke dunia nyata. Coba
tanyakan pada anak-anak usia sekolah dasar, lebih hafal mana antara surah
Ad-Dhuha dibandingkan lagu ‘Sakitnya tuh disini’ milik Cita-citata? Atau tidak
usah jauh-jauh, tanya pada diri kita pribadi apa berita terkini dari Raffi
Ahmad dan Nagita Slavina? Dapat saya pastikan jawabannya akan sangat fasih dan
detail.
Saat ini, perempuan yang bekerja di
dunia entertainment juga sangat banyak. Tak hanya penyanyi dan artis sinetron
saja sebenarnya yang terlibat dalam dunia entertainment, tapi juga termasuk
semua kru yang mendukung terselenggaranya sebuah entertainment bisa
terselenggara, seperti script writer, sutradara, fotografer, kameramen, kostum,
make-up, dan masih banyak ragamnya. Belum lagi banyak audisi menyanyi digelar
dimana-mana. Nah, tentang hiburan apakah ada dalam
Islam konsep hiburan? Apakah hiburan itu perlu dipermasalahkan?
Sejatinya, permasalahan pokoknya
bukan pada entertainment itu sendiri, tapi apa yang terjadi dengan
entertainment tersebut? Konotasi entertainment seakan negatif di benak umat
Islam karena kita punya anggapan bahwa Islam tidak mengenal dunia hiburan,
padahal kita mengenal hiburan sudah sejak 14 abad yang lalu. Hal itu
disyaratkan oleh banyak pernyataan dan penyikapan Nabi Muhammad saw tentang
hiburan, diantaranya sebagai berikut:
Ketika Abu Bakar RA tidak setuju
dengan nyanyian dua budak wanita pada hari raya di rumahnya dan mengusir
keduanya, maka Nabi berkata kepada Abu Bakar, “Biarkan keduanya, wahai Abu
Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya, agar orang-orang Yahudi
mengetahui bahwa sesungguhnya di dalam agama kita ini ada hiburan.” Rasulullah
SAW juga pernah mengizinkan kepada orang-orang Habasyah untuk bermain dengan
tombak mereka di Masjid Nabawi pada hari-hari raya. Pada kesempatan lain beliau
pernah menegur suatu pesta perkawinan yang sepi-sepi saja.
Lalu bagaimana Islam dengan dunia
entertainment era ini?
Dari hal di atas dapat kita ambil
satu simpulan bahwa fitrah atau tabiat manusia dalam menyukai hiburan tidak
dapat dimusnahkan, yang dapat kita lakukan adalah mengarahkannya atau
menggantinya dengan yang lebih baik (beradab). Yang perlu kita waspadai dalam
dunia hiburan masa kini adanya peradaban yang sedang berkuasa berupa peradaban
barat yang seluruh orientasinya adalah materi, yang punya prinsip menghalalkan
segala cara, otomatis semua bidang termasuk seni dan hiburan dibuat sedemikian
rupa untuk kepentingan materi semata tanpa memandang baik atau buruknya.
Sebagai umat Islam berbekal dengan pemahaman ini maka kita harus tahu bagaimana
rambu-rambu dalam menikmati dunia hiburan.
Berhibur
Sekedarnya Saja (sa’atan, sa’atan)
“Demi Zat yang diriku dalam
kekuasaannya! Sesungguhnya andaikata kamu disiplin terhadap apa yang pernah
kamu dengar ketika bersama aku dan juga tekun dalan zikir, niscaya Malaikat
akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu. Tetapi hai Handhalah,
saa’atan, saa’atan! (bergurau sekedarnya saja!). Diulanginya ucapan itu sampai tiga
kali.” (HR. Muslim)
Sahabat, mereka biasa bergurau,
tertawa, bermain-main, karena mereka mengetahui akan kebutuhan jiwanya dan
ingin memenuhi panggilan fitrah serta hendak memberikan hak hati untuk
beristirahat dan bergembira, agar dapat melangsungkan perjalanannya dalam
menyusuri aktivitasnya. Sebab aktivitas hidup itu masih panjang. Ali bin Abi
Thalib pernah berkata: “Sesungguhnya hati itu bisa bosan seperti badan. Oleh
karena itu carilah segi-segi kebijaksanaan demi kepentingan hati.” Dan katanya
pula: “Istirahatkanlah hatimu sekedarnya, sebab hati itu apabila tidak suka,
bisa buta.” Senada dengan ini, Abu Darda’ pun berkata juga: “Sungguh hatiku
akan kuisi dengan sesuatu yang kosong, supaya lebih dapat membantu untuk
menegakkan yang hak.”
Oleh karena itu, tidak salah kalau
seorang muslim bergurau dan bermain-main yang kiranya dapat melapangkan hati,
dengan syarat kiranya hiburannya itu tidak menjadi kebiasaan dan perangi dalam
seluruh waktunya, yaitu setiap pagi dan petang selalu dipenuhi dengan hiburan,
sehingga melupakan kewajiban dan melemahkan aktivitasnya. Hiburan dalam
kehidupan seperti makanan yang dicampur dengan sedikit garam sehingga terasa
lezat. Tetapi jika garam itu terlalu banyak akan merusak makanan.
Dalam dunia hiburan, seorang muslim
tidak boleh menjadikan harga diri dan identitas seseorang sebagai sasaran.
Tidak juga diperkenankan dalam berguraunya itu penuh dengan kedustaan,
naudzubillah. Nah sobat AM, mari kita bijak menikmati entertainment di media,
semoga tidak hanya sekedar karena gengsi hingga kita rela mengorbankan
kepribadian Islam kita. So be smart! (Berbagai Sumber).
*) Dimuat dalam rubrik Fokus
Muslimah Majalah Al-Mar’ah pada bulan Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar