Jakarta, 14—17 Oktober 2003
Kongres Bahasa Indonesia (KBI)
Kedelapan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 14–17 Oktober 2003 dan
dihadiri oleh lebih dari 1.200 peserta yang mewakili para peneliti bahasa dan
sastra, guru bahasa dan sastra, dosen, pakar bidang ilmu, tokoh agama, tokoh
adat, tokoh masyarakat, politisi, ahli hukum, pekerja pers, dan mahasiswa baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri, yakni Australia, Belanda,
Brunei Darussalam, Bulgaria, Cina, Italia, Jepang, Malaysia, Prancis,
Rusia, dan Suriname. Setelah
mendengar dan memperhatikan
(1)
Sambutan Wakil Presiden Republik Indonesia,
(2)
Sambutan Menteri Pendidikan Nasional,
(3)
Laporan Kepala Pusat Bahasa, serta membahas 12 makalah sidang pleno, 49 makalah
sidang kelompok, dan 5 topik diskusi panel, KBI VIII menetapkan putusan sebagai
berikut.
1. Bagian Umum
Pada masa perjuangan kemerdekaan,
disadari betul fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa dan
alat pemersatu berbagai kelompok etnik. Sumpah Pemuda 1928 mengangkat bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan yang telah terbukti menjadi salah satu modal
yang ampuh dalam meraih kedaulatan bangsa. Setelah proklamasi kemerdekaan,
kedudukan bahasa Indonesia itu bahkan makin dimantapkan, yaitu sebagai bahasa
negara sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Bab XV, Pasal 36.
Dalam perkembangan kehidupan masyarakat
Indonesia kini telah terjadi berbagai perubahan, terutama yang berkaitan dengan
tatanan baru kehidupan dunia dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, khususnya teknologi
informasi, yang semakin sarat dengan tuntutan dan tantangan globalisasi.
Kondisi itu telah menempatkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, pada
posisi strategis yang memungkinkan bahasa itu makin jauh memasuki berbagai
sendi kehidupan bangsa Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan
bahasa Indonesia dan bahasa daerah, mau tidak mau, dihadapkan secara frontal
pada kenyataan bahwa penggunaan bahasa asing tersebut makin meluas. Akan
tetapi, di balik kondisi kebahasaan di Indonesia seperti itu, harus diakui
bahwa bahasa Indonesia ternyata juga mendapat tempat yang makin baik di luar
negeri untuk dipelajari.
Gerakan reformasi yang bergulir sejak 1998
telah memberikan corak dan warna tersendiri pada dinamika kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Tatanan kehidupan yang
serba sentralistik, termasuk pengelolaan masalah bahasa dan sastra, berubah
menjadi desentralistik. Akibatnya, kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas
pada pengelolaan masalah bahasa dan sastra Indonesia. Adapun pengelolaan
masalah bahasa dan sastra daerah menjadi kewenangan pemerintah di daerah. Dalam
menghadapi perubahan seperti itu, pengelolaan masalah bahasa dan sastra perlu
membangun sinergi yang berwawasan jauh ke depan agar pengembangan dan pembinaan
bahasa dan sastra Indonesia dapat dilakukan secara berdampingan dengan upaya
pelestarian (dalam pengertian dinamik) bahasa dan sastra daerah termasuk
pengajarannya.
Pencerdasan bangsa melalui pendidikan,
termasuk pemberantasan buta bahasa Indonesia dan peningkatan mutu penggunaannya
oleh setiap warga negara Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari peran bahasa
Indonesia. Pendidikan bahasa bahkan dapat dikatakan menjadi tulang punggung
pendidikan lebih-lebih karena daya akses bahasa Indonesia terhadap ilmu makin
tinggi dari waktu ke waktu. Akan tetapi, dalam kenyataan, masih ada sebagian
warga masyarakat Indonesia yang buta bahasa Indonesia.
Upaya pengembangan dan pembinaan bahasa dan
sastra Indonesia serta pelestarian bahasa dan sastra daerah mempunyai landasan
konstitusional. Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 yang sudah diamendemen disebutkan, “Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional” (Pasal 32 ayat (2)); “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia” (Pasal
36 ); dan “Ketentuan lebih lanjut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara
serta lagu kebangsaan diatur dalam undang-undang”(Pasal 36c). Hal itu berarti
bahwa masalah kebahasaan di Indonesia perlu secara cermat dan komprehensif
diatur dalam sebuah undang-undang sebagaimana yang sudah beberapa kali
diungkapkan dalam kongres terdahulu.
Di sisi lain, bahasa dipakai dalam karya sastra untuk
menciptakan pengalaman baru yang disebut dunia imajinasi, yang tidak
merepresentasikan kenyataan, tetapi melahirkan transformasi dari pengalaman
sehari-hari. Dalam konteks komunikasi makna, seni sastra sangat berpengaruh
karena sastra menggunakan medium bahasa yang sudah diterima dan dimengerti
umum. Dengan demikian, kedudukan bahasa menjadi sangat penting dan strategis
dalam hubungannya dengan sastra sebagai salah satu unsur kebudayaan dan sarana
estetis yang menggambarkan kekayaan batiniah bangsa. Dengan bahasa, segala
perasaan, pemikiran, cita-cita, sejarah, dan perjuangan masa lalu, bahkan masa
depan bangsa, dapat terungkapkan dalam karya sastra. Oleh karena itu, di dalam
sastra, bahasa diejawantahkan secara imajinatif dan kreatif serta menemukan
eksistensinya yang tertinggi. Karya sastra, dengan perkataan lain, adalah
cerminan sebuah komunitas sebagai ciri peradaban sebuah bangsa. Oleh karena
itu, karya sastra sangat diperlukan setiap orang, dengan sastra orang terhibur
sambil mengenali diri, lingkungan, dan kehidupannya sebagai hamba Tuhan. Karena
sastra dilandasi tipe logika yang khas dan di dalamnya bahasa sengaja
dieksploitasi untuk membangkitkan efek ekspresif bukan untuk menjelaskan
hal-hal demi tujuan praktis, karya sastra kerap kali kurang dipahami, bahkan
perannya pun dalam kehidupan kurang disadari. Itulah sebabnya sastra harus
ditumbuhkembangkan agar masyarakat sadar akan pentingnya sastra dalam kehidupan
bermasyarakat yang beradab. Untuk itu, penelitian, pengajaran, dan
pemasyarakatan bahasa dan sastra serta apresiasi sastra perlu ditingkatkan.
Upaya pencerdasan bangsa, termasuk
kemampuan berbahasanya, juga dapat dilakukan melalui media massa. Media massa
telah lama menjadi sarana efektif untuk membantu upaya dan pencapaian tugas
pencerdasan bangsa, termasuk pembinaan (pemasyarakatan) bahasa. Bahkan, jauh
sebelum bangsa ini merdeka media massa telah berperan dalam menjalankan tugas
perluasan/penyebaran penggunaan bahasa Indonesia; dan tugas itu terus dilakukan
sampai sekarang. Dengan kata lain, media massa memiliki peran, posisi, dan
pengaruh yang kuat dalam perluasan penggunaan bahasa Indonesia. Namun, karena
berbagai sebab, media massa tidak jarang lupa akan peran, posisi, dan pengaruhnya tersebut. Tidak jarang ditemukan bahasa media massa
yang bukan saja tidak baik dan tidak benar, tetapi juga sekaligus tidak
mencerdaskan bangsa.
Hasrat untuk mengembangkan dan membina bahasa dan sastra
Indonesia serta melestarikan bahasa dan sastra daerah itulah yang menjadi
faktor pendorong penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia Kedelapan dengan tema
“Pemberdayaan Bahasa Indonesia Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa dalam Era
Globalisasi”. Kongres telah menghasilkan
berbagai simpulan yang tersusun dalam tiga kelompok putusan, yaitu putusan
tentang bahasa, putusan tentang sastra, dan putusan yang berkenaan dengan media
massa.
2. Bagian
Khusus
2.1 Bahasa
Era globalisasi dan era otonomi
daerah telah memengaruhi peran bahasa-bahasa di Indonesia pada saat ini. Era
globalisasi menuntut pentingnya peran bahasa asing dan perlunya pemantapan
peran bahasa Indonesia, sedangkan di pihak lain era otonomi daerah memberi
tempat dan perhatian yang khusus terhadap bahasa daerah. Dalam kaitan itu,
peran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing perlu dikaji ulang.
Strategi untuk memantapkan peran bahasa, meningkatkan mutu bahasa, dan
meningkatkan mutu penggunaan bahasa, terutama bahasa Indonesia dan bahasa
daerah, perlu dirumuskan kembali. Dalam hubungan itu, pengajaran bahasa, baik
melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan nonformal, perlu mendapat
perhatian khusus.
2.1.1 Pemantapan Peran Bahasa
Arus globalisasi di Indonesia telah
menimbulkan perubahan dalam berbagai bidang dan telah memberikan dampak yang
kurang menguntungkan terhadap perkembangan bahasa-bahasa di Indonesia. Bahasa
Indonesia, apalagi bahasa daerah, seakan-akan menjadi subordinasi dari bahasa
asing, yang perannya begitu penting dalam komunikasi di bidang iptek dan
ekonomi.
Kebijakan bahasa nasional yang ada
dirasakan belum berhasil diimplementasikan secara baik sehingga situasi yang
kondusif bagi pelestarian bahasa daerah belum tercipta. Walaupun demikian,
otonomi daerah dan demokratisasi menyadarkan masyarakat penutur bahasa daerah
akan keberadaan, potensi, dan posisi bahasa mereka. Oleh karena itu, arus
globalisasi, dan terutama otonomi daerah, harus dikelola sedemikian rupa
sehingga tetap menjamin terpeliharanya semboyan bhinneka tunggal ika di samping
harus dapat menciptakan kesadaran dan sikap berbahasa yang positif dalam
suasana hidup berdampingan yang harmonis di antara para penutur bahasa di
Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, perlu
diupayakan tindak lanjut berikut.
(1) Bahasa
Indonesia harus tetap mempertahankan perannya sebagai alat pemersatu, pembentuk
jati diri, pemandirian bangsa, dan sarana pikir, ekspresi, dan sarana
komunikasi yang dapat membawa bangsa Indonesia ke dalam kehidupan yang lebih
modern dan beradab. Peran tersebut perlu dimantapkan dengan meningkatkan jumlah
sasaran dan intensitas pembinaan melalui kerja sama dengan berbagai kalangan,
di samping memantapkan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah.
(2) Bahasa
Indonesia sebagai sarana komunikasi dalam pengembangan ilmu dan teknologi serta
seni perlu terus dikembangkan melalui usaha-usaha pemekaran kosakata (termasuk
istilah) dan pemantapan struktur bahasa. Pemerkayaan bahasa Indonesia perlu
juga memanfaatkan berbagai sumber dari bahasa daerah secara proporsional.
(3) Pemasyarakatan
kebijakan bahasa, khususnya mengenai hubungan antara bahasa Indonesia, bahasa
daerah, dan bahasa asing, perlu digiatkan agar masyarakat Indonesia lebih sadar
akan kedudukan dan fungsi bahasa tersebut dan mampu memanfaatkannya secara
tepat.
(4) Peran
bahasa daerah (termasuk aksaranya) sebagai sarana pengembangan dan pembinaan
kebudayaan, pendidikan, seni, dan tradisi daerah untuk memperkukuh jati diri
dan ketahanan budaya bangsa perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, pemantapan
peran bahasa daerah, khususnya sebagai bahasa pengantar pada tahap awal
pendidikan, perlu dikaji secara lebih mendalam. Di samping itu, peningkatan
peran tersebut juga dapat dilakukan melalui ranah kebudayaan, ranah adat, dan
ranah agama.
2.1.2 Peningkatan Mutu Bahasa
Penelitian merupakan salah satu
usaha untuk meningkatkan mutu bahasa. Kenyataannya pada saat ini, penelitian
terhadap bahasa-bahasa di Indonesia lebih banyak dilakukan pada bahasa tulis
(secara tekstual), itu pun dengan cakupan aspek-aspek penelitian yang tidak
merata. Penelitian terhadap bahasa lisan belum banyak dilakukan (misalnya
secara kontekstual), terutama terhadap bahasa-bahasa daerah. Bahkan, penelitian
terhadap bahasa daerah belum dilakukan dalam porsi yang memadai.
Penelitian terhadap bahasa-bahasa di
Indonesia hendaknya memberikan prioritas pada bahasa yang terancam punah.
Penelitian itu tidak dimaksudkan untuk mencapai keseragaman bahasa, tetapi
untuk keperluan pencatatan dan kodifikasi. Penelitian dan kodifikasi tersebut
pada akhirnya harus pula disertai dengan usaha pemeliharaan.
Sehubungan dengan hal-hal yang disebutkan
di atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1) Penelitian
berbagai aspek termasuk laras bahasa Indonesia dan laras bahasa daerah perlu
dilanjutkan. Penelitian bahasa daerah, selain untuk pelestarian, perlu
diteruskan untuk kepentingan pencatatan dan kodifikasi.
(2) Mutu
dan daya ungkap bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan
sehingga dapat menjadi sarana yang lebih ampuh dalam pengembangan ilmu dan
teknologi serta seni.
(3) Penyebarluasan
hasil penelitian dan kodifikasi bahasa di Indonesia perlu ditingkatkan agar
dapat dimanfaatkan untuk memantapkan peran bahasa tersebut. Hasil penelitian,
kodifikasi, dan pengembangan bahasa untuk berbagai kebutuhan perlu ditindaklanjuti dengan pengusulan hak
paten.
2.1.3 Peningkatan Mutu Penggunaan
Bahasa
Penggunaan bahasa Indonesia dan
bahasa daerah sampai saat ini masih memprihatinkan. Dalam hal bahasa Indonesia,
ada sebagian warga masyarakat yang belum dapat berbahasa Indonesia dan sebagian
yang lain kurang mempunyai sikap positif
terhadap bahasa tersebut serta penguasaan mereka terhadap bahasa Indonesia
(terutama ragam tulis) masih rendah. Di pihak lain, dalam hal bahasa daerah,
banyak warga masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa daerahnya dan beralih
menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu berarti bahwa upaya pemasyarakatan dan
pengajaran bahasa daerah serta program penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar pada awal pendidikan belum berhasil dengan baik. Oleh karena itu,
banyak warga masyarakat dari generasi muda di Indonesia yang sudah tidak dapat
menguasai bahasa ibunya dengan baik. Padahal, hasil penelitian UNESCO
menunjukkan bahwa penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar mata pelajaran
dapat mempertinggi keberhasilan anak dalam menguasai pelajaran. Namun, perlu
diingat bahwa bahasa ibu di Indonesia, sebagian besar adalah bahasa daerah,
sangat beragam; ada bahasa daerah yang berpenutur besar, berpenutur sedang, dan
bahasa daerah berpenutur kecil sehingga belum memiliki kemampuan daya ungkap bidang
ilmu dan teknologi secara memadai. Selain itu, bahasa daerah di Indonesia belum
seluruhnya memiliki tradisi tulis sehingga belum dapat menjadi bahasa pengantar
pendidikan, kecuali pada tahap awal pendidikan.
Satu-satunya “kemajuan” yang
mengkhawatirkan adalah kecenderungan warga masyarakat untuk menggunakan bahasa
asing, terutama bahasa Inggris yang pemakaiannya belum tentu benar untuk
berbagai keperluan alih-alih bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Kemajuan
tersebut mungkin disebabkan oleh arus globalisasi yang menghendaki perlunya
penguasaan bahasa asing dalam kehidupan masyarakat modern.
Peningkatan mutu penggunaan bahasa untuk
generasi ke depan dilakukan melalui pengajaran bahasa. Selama ini pengajaran
bahasa pada hampir semua jenis dan jenjang pendidikan selalu dianggap
membosankan karena pengajaran itu lebih diarahkan pada penguasaan aspek
teoretis saja daripada aspek praktis. Padahal, tujuan pengajaran bahasa secara
umum adalah agar peserta didik terampil menggunakan bahasa. Kurikulum pengajaran
bahasa Indonesia mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sementara itu, pengajaran bahasa daerah,
yang merupakan mata pelajaran muatan lokal, juga belum mampu meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam menggunakan bahasa itu. Pengajaran bahasa
asing pun belum membuat peserta didik dapat menggunakan bahasa tersebut, baik
secara lisan maupun secara tulis. Semua kegagalan pengajaran bahasa selama ini
merupakan bagian dari kegagalan pendidikan dalam arti yang luas karena bahasa
Indonesia menjadi bahasa pengantar pendidikan nasional dan sarana pengembangan
ilmu, teknologi, dan seni. Sementara itu, pengajaran bahasa daerah belum
mendapatkan perhatian sepenuhnya dari pemerintah di daerah. Adapun pengajaran
bahasa asing belum seluruhnya menerapkan prinsip-prinsip belajar efektif.
Peningkatan mutu penggunaan bahasa
berhubungan dengan pemasyarakatan bahasa. Dalam kaitan itu, pemasyarakatan
bahasa Indonesia sebagai usaha meningkatkan mutu penggunaan bahasa tidak saja
perlu dilakukan di Indonesia karena bahasa tersebut merupakan bahasa nasional
dan bahasa negara, tetapi juga di luar negeri mengingat bahasa Indonesia banyak
dipelajari di banyak negara.
Berdasarkan uraian di
atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1) Mutu
penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah perlu terus ditingkatkan dengan
memperbaiki sistem dan metode pengajaran dan pemasyarakatannya.
(2) Pusat
Bahasa perlu memberi perhatian yang lebih besar terhadap upaya peningkatan mutu
pengajaran bahasa, terutama dalam penyiapan materi ajar bahasa, baik bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah, berdasarkan kurikulum yang berlaku.
Pengembangan kurikulum dan materi ajar itu hendaknya dilakukan dengan
memanfaatkan sumber-sumber rujukan yang dipersiapkan dan/atau diterbitkan,
antara lain, oleh Pusat Bahasa, balai/kantor bahasa, dan perguruan tinggi.
(3) Kemampuan
berbahasa Indonesia para guru semua bidang studi pada semua jenis dan jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah, dosen, pejabat, tokoh masyarakat,
tokoh adat, serta tokoh agama perlu ditingkatkan secara terarah dan terpadu
agar dapat memberikan suri teladan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar
kepada peserta didik dan masyarakat.
(4) Pusat
Bahasa bersama perguruan tinggi, lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran
bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA), Asosiasi Pengajar BIPA, dan
lembaga-lembaga terkait lainnya, perlu mengembangkan program, metodologi, dan
materi ajar BIPA untuk berbagai keperluan.
(5) Perguruan
tinggi perlu membuka jurusan BIPA dalam bentuk program gelar untuk mencetak
guru BIPA.
(6) Kemampuan
peserta didik dalam berbahasa asing perlu ditingkatkan melalui pengembangan
program, materi ajar, dan metodologi pengajaran sesuai dengan perkembangan
pengajaran bahasa asing.
(7) Sarana,
prasarana, dan sumber daya manusia untuk pengajaran bahasa asing di sekolah dan
di perguruan tinggi perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan.
(8) Pemanfaatan
teknologi mutakhir untuk peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia dan
bahasa daerah harus lebih ditingkatkan.
(9) Penyebaran
informasi tentang bahasa dan sastra Indonesia dan daerah di dalam dan di luar
negeri perlu lebih diintensifkan melalui pelbagai media.
(10) Uji
Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) perlu terus dikembangkan dan
dimasyarakatkan sehingga dapat menjadi salah satu alat evaluasi kemahiran
berbahasa Indonesia untuk berbagai keperluan. Kantor Perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri perlu lebih berperan dalam mendukung program pemasyarakatan
BIPA dan UKBI.
(11) Mutu
penggunaan bahasa Indonesia dalam penyelenggaraan administrasi negara dan
kegiatan-kegiatan kenegaraan perlu terus ditingkatkan.
(12) Penguasaan
bahasa Indonesia harus dipertimbangkan sebagai salah satu syarat penerimaan pegawai,
kenaikan pangkat pegawai, pengangkatan pejabat/eselon, pengangkatan anggota
dewan, dan penerimaan pekerja asing di Indonesia.
(13) Pembenahan
bahasa Indonesia dalam peraturan perundangundangan, termasuk yang merupakan
terjemahan dari hukum warisan kolonial, harus mendapat perhatian serius agar
produk hukum yang bersangkutan tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan. Untuk
itu, di dalam proses penyusunan peraturan/perundangundangan perlu ditingkatkan
keterlibatan secara aktif pakar bahasa sebagai narasumber.
(14) Penerjemahan
dan penerbitan bahan pustaka sebagai sumber informasi ilmu dan teknologi dari
bahasa asing ke bahasa Indonesia perlu ditingkatkan.
(15) Penerbitan
buku, surat kabar, dan majalah dalam bahasa daerah perlu digalakkan secara
terencana dan terarah.
(16) Pemasyarakatan
bahasa daerah perlu terus ditingkatkan melalui berbagai media terutama ranah
adat, ranah budaya, dan ranah agama.
2.2 Sastra
Sastra adalah sebuah karya cipta
khas yang dapat memperkaya dan memperluas cakrawala pembacanya. Karya sastra
mengandung nilainilai yang dapat memperbaiki pandangan hidup, mempertajam akal,
dan memperhalus budi sehingga, pada gilirannya, karya sastra dapat membuat
kehidupan menjadi lebih beradab dan dapat membuat pembacanya lebih peka di
dalam menghadapi berbagai perkembangan dan perubahan di dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, upaya yang berkelanjutan demi menjaga, menjamin, dan
meningkatkan mutu sastra perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Kehidupan yang sangat kompleks dan sarat
dengan tujuan dan kadar kepentingan yang beragam tidak memungkinkan siapa pun
mampu menghadapinya tanpa bantuan dan upaya memanfaatkan pengalaman orang lain.
Karya sastra yang tercipta dari pengalaman hidup manusia dapat berperan sebagai
alat bantu utama kehidupan. Karena perkembangan zaman yang cepat (dalam era
globalisasi) sekaligus memberikan dampak positif dan negatif, yaitu tidak saja
memfasilitasi perilaku kehidupan tetapi juga memperkeruh masalah manusia dan
kemanusiaan, karya sastra dapat digunakan sebagai alat bantu dalam menyikapi
dampak tersebut. Oleh karena itu, setiap orang seyogianya merasa terpanggil
untuk membaca karya sastra, bukan sekadar untuk memperkaya dan memperluas
cakrawala pemikiran, melainkan juga untuk lebih mengenali diri sendiri.
Kenyataan menunjukkan bahwa hingga saat ini
pemanfaatan sastra bagi upaya peningkatan kualitas hidup masih belum
menggembirakan. Hal itu disebabkan oleh sejumlah kendala, baik yang berhubungan
dengan kemauan politis, kesadaran masyarakat terhadap sastra maupun sarana
penunjang.
Berdasarkan uraian di
atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1) Kemauan
politis yang menyangkut sastra, terutama upaya menempatkan sastra Indonesia dan
sastra daerah sebagai sarana peningkatan kualitas dan perekat kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa, perlu dijabarkan dalam bentuk program yang
terencana dan terarah.
(2) Kesadaran
masyarakat luas akan manfaat karya sastra sebagai salah satu sarana untuk
memahami dan menghargai kekompleksan masyarakat melalui interaksi dan
pendekatan lintas budaya yang kritis, mendalam, dan manusiawi-–tanpa
menggoyahkan keutuhan bangsa-–perlu diupayakan agar dapat tumbuh dan berkembang
dengan lebih baik. Sehubungan itu, pemanfaatan nilai-nilai mulia yang
terkandung dalam karya sastra Indonesia dan karya sastra daerah perlu
memperoleh perhatian yang serius dari semua pihak agar masyarakat dapat
menangkal dampak negatif perubahan akibat globalisasi.
(3) Sastra
daerah perlu dikembangkan dan dimasyarakatkan secara terencana dalam keluarga
dan dalam sistem pendidikan.
(4) Pemerintah,
dalam hal ini lembaga terkait, hendaknya memfasilitasi peningkatan penyebaran
hasil-hasil penelitian sastra Indonesia dan sastra daerah sambil mendorong
penerbitan buku pemandu apresiasi dan buku kritik sastra dalam jumlah dan mutu
yang memadai.
(5) Departemen
Pendidikan Nasional perlu memberi definisi baru mengenai pengajaran sastra yang
mencakup fungsi sastra dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam
kaitan itu, perlu dipertimbangkan keberadaan khazanah sastra yang sangat
beragam di Indonesia sebagai sumber materi pendidikan.
(6) Pengajaran
sastra yang selama ini belum mendapat perhatian yang memadai perlu ditopang
dengan perencanaan yang mantap.
2.3 Media Massa
Masyarakat media massa di Indonesia
menyadari bahwa bahasa Indonesia merupakan sarana, bahkan salah satu modal
utama pekerja media massa dalam menjalankan tugas profesionalnya. Masyarakat
media massa juga menyadari bahwa media massa-–cetak dan elektronik-–melalui
produknya yang dikemas dalam bahasa Indonesia mempunyai pengaruh besar dalam
kehidupan masyarakat.
Masyarakat media massa, sebagaimana
masyarakat pengguna bahasa lainnya, menyadari bahwa bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang masih muda dibandingkan dengan sejumlah bahasa lain, baik bahasa
daerah maupun bahasa asing. Sementara itu, disadari juga bahwa bahasa dan para
penggunanya terus bergulat untuk
menghasilkan bahasa modern yang mampu menampung berbagai konsep dan produk
kebudayaan dan/atau peradaban modern sekaligus sebagai sarana untuk
mengekspresikan berbagai hal, konsep kebudayaan, dan/atau peradaban modern itu.
Masyarakat media massa juga menyadari bahwa masih banyak media yang belum
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Kongres Bahasa Indonesia Kedelapan
mengingatkan kembali masyarakat media massa akan peran dan tanggung jawabnya
untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tanggung jawab
tersebut haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi
kreativitas penggunaan bahasa sesuai dengan keperluan media massa
masing-masing. Selain itu, KBI VIII juga mengingatkan masyarakat media massa
akan peran dan fungsinya sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat, termasuk
pembinaan bahasa Indonesia.
Berdasarkan uraian di
atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1) Kemampuan
insan media massa dalam menggunakan bahasa Indonesia perlu ditingkatkan secara
teratur dan tersistem melalui kerja sama dengan lembaga atau instansi terkait
untuk meningkatkan profesionalisme. Usaha peningkatan itu akan lebih efektif
jika insan media massa tersebut telah dibekali dengan kemahiran berbahasa
Indonesia yang memadai dari jenjang pendidikan terakhirnya.
(2) Seleksi
penerimaan pekerja pers, khususnya jurnalis, misalnya dalam hal standar
kompetensi berbahasa Indonesia, perlu diperketat agar pekerja pers yang
terpilih memenuhi standar yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya dengan
baik.
(3) Media
massa perlu meningkatkan upaya melakukan autokritik dalam penggunaan bahasa
agar misi pendidikan terutama dalam penggunaan bahasa Indonesia dapat dilakukan
dengan lebih baik.
(4) Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, perguruan tinggi, dan organisasi
profesi perlu membentuk forum komunikasi yang secara tersistem memantau,
mengevaluasi, dan memberikan masukan kepada media massa tentang bahasa
Indonesia yang mereka gunakan.
3. Rekomendasi
Mengenai Putusan KBI VII tahun
1998, masih ada putusan yang belum dilaksanakan atau ditindaklanjuti. Oleh
karena itu, untuk melaksanakan putusan KBI VII yang belum terselesaikan dan
untuk menindaklanjuti putusan KBI VIII tahun 2003, direkomendasikan hal-hal
sebagai berikut.
(1) Badan
Pertimbangan Bahasa di dalam melaksanakan tugasnya hendaknya terus mengupayakan
tersusunnya undang-undang kebahasaan dan ditingkatkannya status kelembagaan
Pusat Bahasa.
(2) Pusat
Bahasa diharapkan membuat perencanaan untuk menindaklanjuti putusan KBI VIII,
termasuk putusan KBI VII yang belum secara tuntas dilaksanakan (jika perlu
dengan melakukan kerja sama dan koordinasi dengan pihak atau instansi lain).
(3) Pusat
Bahasa perlu membina jaringan keprofesionalan yang luas, baik dengan kalangan
pemerintah maupun swasta, untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia
dalam berbagai bidang kehidupan, terutama yang berdampak luas pada masyarakat.
(4) Kerja
sama antara Pusat Bahasa dan pemerintah provinsi serta pemerintah
kabupaten/kota perlu lebih ditingkatkan agar penanganan masalah yang berkaitan
dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dapat dilakukan secara harmonis dan
proporsional.
Jakarta, 17 Oktober 2008
Tim Perumus Kongres Bahasa
Indonesia Kedelapan
Perumus
1. Abdul
Wahab (Ketua)
2. Sugiyono
(Sekretaris)
3. Abdul
Djunaidi (Anggota)
4. Ayu
Sutarto (Anggota)
5. H.
Hunggu Tadjuddin Usup (Anggota)
6. Riris
K. Toha-Sarumpaet (Anggota)
7. Suminto
A. Sayuti (Anggota)
8. T.D.
Asmadi (Anggota)
9. Threes
Y. Kumanireng (Anggota)
10. Willy
Pramudya (Anggota)
Narasumber
1. Dendy
Sugono
2. Hasan
Alwi
3. Latief
4. Soenjono
Dardjowidjojo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar