Jumat, 28 Februari 2014

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia Kedelapan - Sembilan


Jakarta, 14—17 Oktober 2003

Kongres Bahasa Indonesia (KBI) Kedelapan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 14–17 Oktober 2003 dan dihadiri oleh lebih dari 1.200 peserta yang mewakili para peneliti bahasa dan sastra, guru bahasa dan sastra, dosen, pakar bidang ilmu, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, politisi, ahli hukum, pekerja pers, dan mahasiswa baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri, yakni Australia, Belanda, Brunei Darussalam, Bulgaria, Cina, Italia, Jepang, Malaysia, Prancis,
Rusia, dan Suriname. Setelah mendengar dan memperhatikan
(1)          Sambutan Wakil Presiden Republik Indonesia,
(2)          Sambutan Menteri Pendidikan Nasional, 
(3)          Laporan Kepala Pusat Bahasa,  serta membahas 12 makalah sidang pleno, 49 makalah sidang kelompok, dan 5 topik diskusi panel, KBI VIII menetapkan putusan sebagai berikut.


1. Bagian Umum
Pada masa perjuangan kemerdekaan, disadari betul fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa dan alat pemersatu berbagai kelompok etnik. Sumpah Pemuda 1928 mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang telah terbukti menjadi salah satu modal yang ampuh dalam meraih kedaulatan bangsa. Setelah proklamasi kemerdekaan, kedudukan bahasa Indonesia itu bahkan makin dimantapkan, yaitu sebagai bahasa negara sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bab XV, Pasal 36. 
Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia kini telah terjadi berbagai perubahan, terutama yang berkaitan dengan tatanan baru kehidupan dunia dan  perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, khususnya teknologi informasi, yang semakin sarat dengan tuntutan dan tantangan globalisasi. Kondisi itu telah menempatkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, pada posisi strategis yang memungkinkan bahasa itu makin jauh memasuki berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, mau tidak mau, dihadapkan secara frontal pada kenyataan bahwa penggunaan bahasa asing tersebut makin meluas. Akan tetapi, di balik kondisi kebahasaan di Indonesia seperti itu, harus diakui bahwa bahasa Indonesia ternyata juga mendapat tempat yang makin baik di luar negeri untuk dipelajari. 
Gerakan reformasi yang bergulir sejak 1998 telah memberikan corak dan warna tersendiri pada dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Tatanan kehidupan yang serba sentralistik, termasuk pengelolaan masalah bahasa dan sastra, berubah menjadi desentralistik. Akibatnya, kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas pada pengelolaan masalah bahasa dan sastra Indonesia. Adapun pengelolaan masalah bahasa dan sastra daerah menjadi kewenangan pemerintah di daerah. Dalam menghadapi perubahan seperti itu, pengelolaan masalah bahasa dan sastra perlu membangun sinergi yang berwawasan jauh ke depan agar pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia dapat dilakukan secara berdampingan dengan upaya pelestarian (dalam pengertian dinamik) bahasa dan sastra daerah termasuk pengajarannya.  
Pencerdasan bangsa melalui pendidikan, termasuk pemberantasan buta bahasa Indonesia dan peningkatan mutu penggunaannya oleh setiap warga negara Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari peran bahasa Indonesia. Pendidikan bahasa bahkan dapat dikatakan menjadi tulang punggung pendidikan lebih-lebih karena daya akses bahasa Indonesia terhadap ilmu makin tinggi dari waktu ke waktu. Akan tetapi, dalam kenyataan, masih ada sebagian warga masyarakat Indonesia yang buta bahasa Indonesia.
Upaya pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia serta pelestarian bahasa dan sastra daerah mempunyai landasan konstitusional. Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang sudah diamendemen disebutkan, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional” (Pasal 32 ayat (2));  “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia” (Pasal 36 ); dan “Ketentuan lebih lanjut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan diatur dalam undang-undang”(Pasal 36c). Hal itu berarti bahwa masalah kebahasaan di Indonesia perlu secara cermat dan komprehensif diatur dalam sebuah undang-undang sebagaimana yang sudah beberapa kali diungkapkan dalam kongres terdahulu.
Di sisi lain, bahasa dipakai dalam karya sastra untuk menciptakan pengalaman baru yang disebut dunia imajinasi, yang tidak merepresentasikan kenyataan, tetapi melahirkan transformasi dari pengalaman sehari-hari. Dalam konteks komunikasi makna, seni sastra sangat berpengaruh karena sastra menggunakan medium bahasa yang sudah diterima dan dimengerti umum. Dengan demikian, kedudukan bahasa menjadi sangat penting dan strategis dalam hubungannya dengan sastra sebagai salah satu unsur kebudayaan dan sarana estetis yang menggambarkan kekayaan batiniah bangsa. Dengan bahasa, segala perasaan, pemikiran, cita-cita, sejarah, dan perjuangan masa lalu, bahkan masa depan bangsa, dapat terungkapkan dalam karya sastra. Oleh karena itu, di dalam sastra, bahasa diejawantahkan secara imajinatif dan kreatif serta menemukan eksistensinya yang tertinggi. Karya sastra, dengan perkataan lain, adalah cerminan sebuah komunitas sebagai ciri peradaban sebuah bangsa. Oleh karena itu, karya sastra sangat diperlukan setiap orang, dengan sastra orang terhibur sambil mengenali diri, lingkungan, dan kehidupannya sebagai hamba Tuhan. Karena sastra dilandasi tipe logika yang khas dan di dalamnya bahasa sengaja dieksploitasi untuk membangkitkan efek ekspresif bukan untuk menjelaskan hal-hal demi tujuan praktis, karya sastra kerap kali kurang dipahami, bahkan perannya pun dalam kehidupan kurang disadari. Itulah sebabnya sastra harus ditumbuhkembangkan agar masyarakat sadar akan pentingnya sastra dalam kehidupan bermasyarakat yang beradab. Untuk itu, penelitian, pengajaran, dan pemasyarakatan bahasa dan sastra serta apresiasi sastra perlu ditingkatkan.
Upaya pencerdasan bangsa, termasuk kemampuan berbahasanya, juga dapat dilakukan melalui media massa. Media massa telah lama menjadi sarana efektif untuk membantu upaya dan pencapaian tugas pencerdasan bangsa, termasuk pembinaan (pemasyarakatan) bahasa. Bahkan, jauh sebelum bangsa ini merdeka media massa telah berperan dalam menjalankan tugas perluasan/penyebaran penggunaan bahasa Indonesia; dan tugas itu terus dilakukan sampai sekarang. Dengan kata lain, media massa memiliki peran, posisi, dan pengaruh yang kuat dalam perluasan penggunaan bahasa Indonesia. Namun, karena berbagai sebab, media massa tidak jarang lupa akan  peran, posisi, dan pengaruhnya tersebut.  Tidak jarang ditemukan bahasa media massa yang bukan saja tidak baik dan tidak benar, tetapi juga sekaligus tidak mencerdaskan bangsa. 
Hasrat untuk mengembangkan dan membina bahasa dan sastra Indonesia serta melestarikan bahasa dan sastra daerah itulah yang menjadi faktor pendorong penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia Kedelapan dengan tema “Pemberdayaan Bahasa Indonesia Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa dalam Era Globalisasi”.  Kongres telah menghasilkan berbagai simpulan yang tersusun dalam tiga kelompok putusan, yaitu putusan tentang bahasa, putusan tentang sastra, dan putusan yang berkenaan dengan media massa. 

2. Bagian Khusus
2.1  Bahasa
Era globalisasi dan era otonomi daerah telah memengaruhi peran bahasa-bahasa di Indonesia pada saat ini. Era globalisasi menuntut pentingnya peran bahasa asing dan perlunya pemantapan peran bahasa Indonesia, sedangkan di pihak lain era otonomi daerah memberi tempat dan perhatian yang khusus terhadap bahasa daerah. Dalam kaitan itu, peran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing perlu dikaji ulang. Strategi untuk memantapkan peran bahasa, meningkatkan mutu bahasa, dan meningkatkan mutu penggunaan bahasa, terutama bahasa Indonesia dan bahasa daerah, perlu dirumuskan kembali. Dalam hubungan itu, pengajaran bahasa, baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan nonformal, perlu mendapat perhatian khusus.

2.1.1 Pemantapan Peran Bahasa
Arus globalisasi di Indonesia telah menimbulkan perubahan dalam berbagai bidang dan telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan bahasa-bahasa di Indonesia. Bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah, seakan-akan menjadi subordinasi dari bahasa asing, yang perannya begitu penting dalam komunikasi di bidang iptek dan ekonomi.
Kebijakan bahasa nasional yang ada dirasakan belum berhasil diimplementasikan secara baik sehingga situasi yang kondusif bagi pelestarian bahasa daerah belum tercipta. Walaupun demikian, otonomi daerah dan demokratisasi menyadarkan masyarakat penutur bahasa daerah akan keberadaan, potensi, dan posisi bahasa mereka. Oleh karena itu, arus globalisasi, dan terutama otonomi daerah, harus dikelola sedemikian rupa sehingga tetap menjamin terpeliharanya semboyan bhinneka tunggal ika di samping harus dapat menciptakan kesadaran dan sikap berbahasa yang positif dalam suasana hidup berdampingan yang harmonis di antara para penutur bahasa di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1)   Bahasa Indonesia harus tetap mempertahankan perannya sebagai alat pemersatu, pembentuk jati diri, pemandirian bangsa, dan sarana pikir, ekspresi, dan sarana komunikasi yang dapat membawa bangsa Indonesia ke dalam kehidupan yang lebih modern dan beradab. Peran tersebut perlu dimantapkan dengan meningkatkan jumlah sasaran dan intensitas pembinaan melalui kerja sama dengan berbagai kalangan, di samping memantapkan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah.
(2)   Bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dalam pengembangan ilmu dan teknologi serta seni perlu terus dikembangkan melalui usaha-usaha pemekaran kosakata (termasuk istilah) dan pemantapan struktur bahasa. Pemerkayaan bahasa Indonesia perlu juga memanfaatkan berbagai sumber dari bahasa daerah secara proporsional.
(3)   Pemasyarakatan kebijakan bahasa, khususnya mengenai hubungan antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, perlu digiatkan agar masyarakat Indonesia lebih sadar akan kedudukan dan fungsi bahasa tersebut dan mampu memanfaatkannya secara tepat. 
(4)   Peran bahasa daerah (termasuk aksaranya) sebagai sarana pengembangan dan pembinaan kebudayaan, pendidikan, seni, dan tradisi daerah untuk memperkukuh jati diri dan ketahanan budaya bangsa perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, pemantapan peran bahasa daerah, khususnya sebagai bahasa pengantar pada tahap awal pendidikan, perlu dikaji secara lebih mendalam. Di samping itu, peningkatan peran tersebut juga dapat dilakukan melalui ranah kebudayaan, ranah adat, dan ranah agama.

2.1.2 Peningkatan Mutu Bahasa
Penelitian merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan mutu bahasa. Kenyataannya pada saat ini, penelitian terhadap bahasa-bahasa di Indonesia lebih banyak dilakukan pada bahasa tulis (secara tekstual), itu pun dengan cakupan aspek-aspek penelitian yang tidak merata. Penelitian terhadap bahasa lisan belum banyak dilakukan (misalnya secara kontekstual), terutama terhadap bahasa-bahasa daerah. Bahkan, penelitian terhadap bahasa daerah belum dilakukan dalam porsi yang memadai.
Penelitian terhadap bahasa-bahasa di Indonesia hendaknya memberikan prioritas pada bahasa yang terancam punah. Penelitian itu tidak dimaksudkan untuk mencapai keseragaman bahasa, tetapi untuk keperluan pencatatan dan kodifikasi. Penelitian dan kodifikasi tersebut pada akhirnya harus pula disertai dengan usaha pemeliharaan.
Sehubungan dengan hal-hal yang disebutkan di atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1)  Penelitian berbagai aspek termasuk laras bahasa Indonesia dan laras bahasa daerah perlu dilanjutkan. Penelitian bahasa daerah, selain untuk pelestarian, perlu diteruskan untuk kepentingan pencatatan dan kodifikasi.
(2)  Mutu dan daya ungkap bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan sehingga dapat menjadi sarana yang lebih ampuh dalam pengembangan ilmu dan teknologi serta seni.
(3)  Penyebarluasan hasil penelitian dan kodifikasi bahasa di Indonesia perlu ditingkatkan agar dapat dimanfaatkan untuk memantapkan peran bahasa tersebut. Hasil penelitian, kodifikasi, dan pengembangan bahasa untuk berbagai kebutuhan  perlu ditindaklanjuti dengan pengusulan hak paten. 

2.1.3 Peningkatan Mutu Penggunaan Bahasa 
Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sampai saat ini masih memprihatinkan. Dalam hal bahasa Indonesia, ada sebagian warga masyarakat yang belum dapat berbahasa Indonesia dan sebagian yang lain  kurang mempunyai sikap positif terhadap bahasa tersebut serta penguasaan mereka terhadap bahasa Indonesia (terutama ragam tulis) masih rendah. Di pihak lain, dalam hal bahasa daerah, banyak warga masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa daerahnya dan beralih menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu berarti bahwa upaya pemasyarakatan dan pengajaran bahasa daerah serta program penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada awal pendidikan belum berhasil dengan baik. Oleh karena itu, banyak warga masyarakat dari generasi muda di Indonesia yang sudah tidak dapat menguasai bahasa ibunya dengan baik. Padahal, hasil penelitian UNESCO menunjukkan bahwa penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar mata pelajaran dapat mempertinggi keberhasilan anak dalam menguasai pelajaran. Namun, perlu diingat bahwa bahasa ibu di Indonesia, sebagian besar adalah bahasa daerah, sangat beragam; ada bahasa daerah yang berpenutur besar, berpenutur sedang, dan bahasa daerah berpenutur kecil sehingga belum memiliki kemampuan daya ungkap bidang ilmu dan teknologi secara memadai. Selain itu, bahasa daerah di Indonesia belum seluruhnya memiliki tradisi tulis sehingga belum dapat menjadi bahasa pengantar pendidikan, kecuali pada tahap awal pendidikan.
Satu-satunya “kemajuan” yang mengkhawatirkan adalah kecenderungan warga masyarakat untuk menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris yang pemakaiannya belum tentu benar untuk berbagai keperluan alih-alih bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Kemajuan tersebut mungkin disebabkan oleh arus globalisasi yang menghendaki perlunya penguasaan bahasa asing dalam kehidupan masyarakat modern. 
Peningkatan mutu penggunaan bahasa untuk generasi ke depan dilakukan melalui pengajaran bahasa. Selama ini pengajaran bahasa pada hampir semua jenis dan jenjang pendidikan selalu dianggap membosankan karena pengajaran itu lebih diarahkan pada penguasaan aspek teoretis saja daripada aspek praktis. Padahal, tujuan pengajaran bahasa secara umum adalah agar peserta didik terampil menggunakan bahasa. Kurikulum pengajaran bahasa Indonesia mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sementara itu, pengajaran bahasa daerah, yang merupakan mata pelajaran muatan lokal, juga belum mampu meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menggunakan bahasa itu. Pengajaran bahasa asing pun belum membuat peserta didik dapat menggunakan bahasa tersebut, baik secara lisan maupun secara tulis. Semua kegagalan pengajaran bahasa selama ini merupakan bagian dari kegagalan pendidikan dalam arti yang luas karena bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pendidikan nasional dan sarana pengembangan ilmu, teknologi, dan seni. Sementara itu, pengajaran bahasa daerah belum mendapatkan perhatian sepenuhnya dari pemerintah di daerah. Adapun pengajaran bahasa asing belum seluruhnya menerapkan prinsip-prinsip belajar efektif. 
Peningkatan mutu penggunaan bahasa berhubungan dengan pemasyarakatan bahasa. Dalam kaitan itu, pemasyarakatan bahasa Indonesia sebagai usaha meningkatkan mutu penggunaan bahasa tidak saja perlu dilakukan di Indonesia karena bahasa tersebut merupakan bahasa nasional dan bahasa negara, tetapi juga di luar negeri mengingat bahasa Indonesia banyak dipelajari di banyak negara. 
Berdasarkan uraian di atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1)    Mutu penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah perlu terus ditingkatkan dengan memperbaiki sistem dan metode pengajaran dan pemasyarakatannya.
(2)    Pusat Bahasa perlu memberi perhatian yang lebih besar terhadap upaya peningkatan mutu pengajaran bahasa, terutama dalam penyiapan materi ajar bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah, berdasarkan kurikulum yang berlaku. Pengembangan kurikulum dan materi ajar itu hendaknya dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber rujukan yang dipersiapkan dan/atau diterbitkan, antara lain, oleh Pusat Bahasa, balai/kantor bahasa, dan perguruan tinggi.
(3)    Kemampuan berbahasa Indonesia para guru semua bidang studi pada semua jenis dan jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, dosen, pejabat, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta tokoh agama perlu ditingkatkan secara terarah dan terpadu agar dapat memberikan suri teladan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada peserta didik dan masyarakat. 
(4)    Pusat Bahasa bersama perguruan tinggi, lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA), Asosiasi Pengajar BIPA, dan lembaga-lembaga terkait lainnya, perlu mengembangkan program, metodologi, dan materi ajar BIPA untuk berbagai keperluan. 
(5)    Perguruan tinggi perlu membuka jurusan BIPA dalam bentuk program gelar untuk mencetak guru BIPA. 
(6)    Kemampuan peserta didik dalam berbahasa asing perlu ditingkatkan melalui pengembangan program, materi ajar, dan metodologi pengajaran sesuai dengan perkembangan pengajaran bahasa asing. 
(7)    Sarana, prasarana, dan sumber daya manusia untuk pengajaran bahasa asing di sekolah dan di perguruan tinggi perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan. 
(8)    Pemanfaatan teknologi mutakhir untuk peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah harus lebih ditingkatkan.
(9)    Penyebaran informasi tentang bahasa dan sastra Indonesia dan daerah di dalam dan di luar negeri perlu lebih diintensifkan melalui pelbagai media. 
(10)  Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) perlu terus dikembangkan dan dimasyarakatkan sehingga dapat menjadi salah satu alat evaluasi kemahiran berbahasa Indonesia untuk berbagai keperluan. Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri perlu lebih berperan dalam mendukung program pemasyarakatan BIPA dan UKBI. 
(11)  Mutu penggunaan bahasa Indonesia dalam penyelenggaraan administrasi negara dan kegiatan-kegiatan kenegaraan perlu terus ditingkatkan. 
(12)  Penguasaan bahasa Indonesia harus dipertimbangkan sebagai salah satu syarat penerimaan pegawai, kenaikan pangkat pegawai, pengangkatan pejabat/eselon, pengangkatan anggota dewan, dan penerimaan pekerja asing di Indonesia.
(13)  Pembenahan bahasa Indonesia dalam peraturan perundangundangan, termasuk yang merupakan terjemahan dari hukum warisan kolonial, harus mendapat perhatian serius agar produk hukum yang bersangkutan tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan. Untuk itu, di dalam proses penyusunan peraturan/perundangundangan perlu ditingkatkan keterlibatan secara aktif pakar bahasa sebagai narasumber. 
(14)  Penerjemahan dan penerbitan bahan pustaka sebagai sumber informasi ilmu dan teknologi dari bahasa asing ke bahasa Indonesia perlu ditingkatkan. 
(15)  Penerbitan buku, surat kabar, dan majalah dalam bahasa daerah perlu digalakkan secara terencana dan terarah. 
(16)  Pemasyarakatan bahasa daerah perlu terus ditingkatkan melalui berbagai media terutama ranah adat, ranah budaya, dan ranah agama. 

2.2 Sastra 
Sastra adalah sebuah karya cipta khas yang dapat memperkaya dan memperluas cakrawala pembacanya. Karya sastra mengandung nilainilai yang dapat memperbaiki pandangan hidup, mempertajam akal, dan memperhalus budi sehingga, pada gilirannya, karya sastra dapat membuat kehidupan menjadi lebih beradab dan dapat membuat pembacanya lebih peka di dalam menghadapi berbagai perkembangan dan perubahan di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, upaya yang berkelanjutan demi menjaga, menjamin, dan meningkatkan mutu sastra perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Kehidupan yang sangat kompleks dan sarat dengan tujuan dan kadar kepentingan yang beragam tidak memungkinkan siapa pun mampu menghadapinya tanpa bantuan dan upaya memanfaatkan pengalaman orang lain. Karya sastra yang tercipta dari pengalaman hidup manusia dapat berperan sebagai alat bantu utama kehidupan. Karena perkembangan zaman yang cepat (dalam era globalisasi) sekaligus memberikan dampak positif dan negatif, yaitu tidak saja memfasilitasi perilaku kehidupan tetapi juga memperkeruh masalah manusia dan kemanusiaan, karya sastra dapat digunakan sebagai alat bantu dalam menyikapi dampak tersebut. Oleh karena itu, setiap orang seyogianya merasa terpanggil untuk membaca karya sastra, bukan sekadar untuk memperkaya dan memperluas cakrawala pemikiran, melainkan juga untuk lebih mengenali diri sendiri.
Kenyataan menunjukkan bahwa hingga saat ini pemanfaatan sastra bagi upaya peningkatan kualitas hidup masih belum menggembirakan. Hal itu disebabkan oleh sejumlah kendala, baik yang berhubungan dengan kemauan politis, kesadaran masyarakat terhadap sastra maupun sarana penunjang. 
Berdasarkan uraian di atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1)  Kemauan politis yang menyangkut sastra, terutama upaya menempatkan sastra Indonesia dan sastra daerah sebagai sarana peningkatan kualitas dan perekat kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, perlu dijabarkan dalam bentuk program yang terencana dan terarah. 
(2)  Kesadaran masyarakat luas akan manfaat karya sastra sebagai salah satu sarana untuk memahami dan menghargai kekompleksan masyarakat melalui interaksi dan pendekatan lintas budaya yang kritis, mendalam, dan manusiawi-–tanpa menggoyahkan keutuhan bangsa-–perlu diupayakan agar dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik. Sehubungan itu, pemanfaatan nilai-nilai mulia yang terkandung dalam karya sastra Indonesia dan karya sastra daerah perlu memperoleh perhatian yang serius dari semua pihak agar masyarakat dapat menangkal dampak negatif perubahan akibat globalisasi.
(3)  Sastra daerah perlu dikembangkan dan dimasyarakatkan secara terencana dalam keluarga dan dalam sistem pendidikan.
(4)  Pemerintah, dalam hal ini lembaga terkait, hendaknya memfasilitasi peningkatan penyebaran hasil-hasil penelitian sastra Indonesia dan sastra daerah sambil mendorong penerbitan buku pemandu apresiasi dan buku kritik sastra dalam jumlah dan mutu yang memadai.
(5)  Departemen Pendidikan Nasional perlu memberi definisi baru mengenai pengajaran sastra yang mencakup fungsi sastra dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam kaitan itu, perlu dipertimbangkan keberadaan khazanah sastra yang sangat beragam di Indonesia sebagai sumber materi pendidikan.
(6)  Pengajaran sastra yang selama ini belum mendapat perhatian yang memadai perlu ditopang dengan perencanaan yang mantap.

2.3 Media Massa
Masyarakat media massa di Indonesia menyadari bahwa bahasa Indonesia merupakan sarana, bahkan salah satu modal utama pekerja media massa dalam menjalankan tugas profesionalnya. Masyarakat media massa juga menyadari bahwa media massa-–cetak dan elektronik-–melalui produknya yang dikemas dalam bahasa Indonesia mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. 
Masyarakat media massa, sebagaimana masyarakat pengguna bahasa lainnya, menyadari bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang masih muda dibandingkan dengan sejumlah bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Sementara itu, disadari juga bahwa bahasa dan para penggunanya  terus bergulat untuk menghasilkan bahasa modern yang mampu menampung berbagai konsep dan produk kebudayaan dan/atau peradaban modern sekaligus sebagai sarana untuk mengekspresikan berbagai hal, konsep kebudayaan, dan/atau peradaban modern itu. Masyarakat media massa juga menyadari bahwa masih banyak media yang belum menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. 
Kongres Bahasa Indonesia Kedelapan mengingatkan kembali masyarakat media massa akan peran dan tanggung jawabnya untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tanggung jawab tersebut haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi kreativitas penggunaan bahasa sesuai dengan keperluan media massa masing-masing. Selain itu, KBI VIII juga mengingatkan masyarakat media massa akan peran dan fungsinya sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat, termasuk pembinaan bahasa Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, perlu diupayakan tindak lanjut berikut.
(1)  Kemampuan insan media massa dalam menggunakan bahasa Indonesia perlu ditingkatkan secara teratur dan tersistem melalui kerja sama dengan lembaga atau instansi terkait untuk meningkatkan profesionalisme. Usaha peningkatan itu akan lebih efektif jika insan media massa tersebut telah dibekali dengan kemahiran berbahasa Indonesia yang memadai dari jenjang pendidikan terakhirnya.
(2)  Seleksi penerimaan pekerja pers, khususnya jurnalis, misalnya dalam hal standar kompetensi berbahasa Indonesia, perlu diperketat agar pekerja pers yang terpilih memenuhi standar yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
(3)  Media massa perlu meningkatkan upaya melakukan autokritik dalam penggunaan bahasa agar misi pendidikan terutama dalam penggunaan bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan lebih baik.
(4)  Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, perguruan tinggi, dan organisasi profesi perlu membentuk forum komunikasi yang secara tersistem memantau, mengevaluasi, dan memberikan masukan kepada media massa tentang bahasa Indonesia yang mereka gunakan.

3. Rekomendasi
Mengenai Putusan KBI VII tahun 1998, masih ada putusan yang belum dilaksanakan atau ditindaklanjuti. Oleh karena itu, untuk melaksanakan putusan KBI VII yang belum terselesaikan dan untuk menindaklanjuti putusan KBI VIII tahun 2003, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut.
(1)   Badan Pertimbangan Bahasa di dalam melaksanakan tugasnya hendaknya terus mengupayakan tersusunnya undang-undang kebahasaan dan ditingkatkannya status kelembagaan Pusat Bahasa.
(2)   Pusat Bahasa diharapkan membuat perencanaan untuk menindaklanjuti putusan KBI VIII, termasuk putusan KBI VII yang belum secara tuntas dilaksanakan (jika perlu dengan melakukan kerja sama dan koordinasi dengan pihak atau instansi lain).
(3)   Pusat Bahasa perlu membina jaringan keprofesionalan yang luas, baik dengan kalangan pemerintah maupun swasta, untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, terutama yang berdampak luas pada masyarakat.
(4)   Kerja sama antara Pusat Bahasa dan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota perlu lebih ditingkatkan agar penanganan masalah yang berkaitan dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dapat dilakukan secara harmonis dan proporsional.

Jakarta, 17 Oktober 2008



Tim Perumus Kongres Bahasa Indonesia Kedelapan
Perumus
1.      Abdul Wahab (Ketua)
2.      Sugiyono (Sekretaris)
3.      Abdul Djunaidi (Anggota)
4.      Ayu Sutarto (Anggota)
5.      H. Hunggu Tadjuddin Usup (Anggota)
6.      Riris K. Toha-Sarumpaet (Anggota)
7.      Suminto A. Sayuti (Anggota)
8.      T.D. Asmadi (Anggota)
9.      Threes Y. Kumanireng (Anggota)
10.   Willy Pramudya (Anggota)

Narasumber
1.      Dendy Sugono
2.      Hasan Alwi
3.      Latief
4.      Soenjono Dardjowidjojo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar